بسم الله الرحمن الرحيم



Hukum bersandar pada Hisab Falaki

Penulis: Redaksi Assalafy.org

Asy-Syaikh ‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah

Ramadhan merupakan ibadah yang berulang setiap tahun. Merupakan bulan Al-Qur`an, bulan yang benuh barakah. Namun menjelang datangnya bulan Ramadhan, “polemik tahunan” antara ru`yah - hisab untuk penentuan awal Ramadhan dan ‘Idul Fithri kembali menghangat. Herannya, para ahli hisab makin tahun makin arogan. Jauh-jauh hari mereka sudah berani mengumumkan hasil hisabnya, bahwa Ramadhan dan ‘Idul Fithri akan jatuh pada hari dan tanggal sekian. Bahkan ahli hisab mulai berani menghujat ru`yah yang merupakan satu-satunya sistem yang ditetapkan oleh syari’at Islam. Termasuk di negeri ini ada sebagian ormas Islam yang punya kebiasaan jauh-jauh hari mengumumkan kapan Ramadhan, ‘Idul Fithri, dan ‘Idul Adha berdasarkan Hisab Falaki (!!). Tentu saja, suasana perpecahan langsung terasa, menodai suasana kebersamaan dan kekhusyu’an ibadah kaum muslimin.

Bagaimana sebenarnya hukum penggunaan Hisab Falaki untuk penentuan Ramadhan dan ‘Idul Fitri, serta ‘Idul Adh-ha? Berikut penjelasan seorang ‘ulama terkemuka berkaliber international. Seorang ‘ulama besar yang senantiasa dinanti dan dicari fatwa-fatwanya, serta sangat dibutuhkan oleh umat bimbingan dan arahannya. Beliau adalah Asy-Syaikh Al-’Allamah Al-Muhaddits ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah. Semoga bermanfaat.

________________

الحمد الله رب العالمين، والصلاة والسلام على عبد الله ورسوله محمد وعلى آله وأصحابه والتابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد:

Telah banyak pembicaraan tentang penggunaan Hisab Falaki untuk menentukan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, dan juga penentuan hari-hari raya (’ied). Maka aku memandang perlunya untuk menjelaskan hukum permasalahan tersebut kepada umat manusia di negeri ini dan juga negeri yang lain, agar mereka benar-benar di atas bashirah (ilmu) dalam menjalankan ibadahnya kepada Rabb mereka.

Maka aku katakan -wabillahittaufiq-:

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tengan mengkaitkan dengan Al-Hilal beberapa hukum yang banyak, seperti puasa (shaum), haji, hari raya (’ied), masa-masa ‘iddah, ila` (sumpah), dan yang lainnya. Karena Al-Hilal adalah sesuatu yang bisa disaksikan oleh indera penglihatan/mata, dan pengetahuan yang paling meyakinkan adalah sesuatu yang bisa disaksikan oleh mata.

Juga karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah menjadikan hukum permasalahan hilal ini terkait dengan ru’yah saja, karena ru’yah (yakni ru’yatul hilal) merupakan perkara alami yang sangat jelas, yang keumuman manusia bisa melakukannya. Sehingga tidak terjadi kerancuan bagi seorang pun dalam urusan agamanya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :

« إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب، الشهر هكذا وهكذا وهكذا . يعني مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين »

Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi, tidak menulis dan tidak pula menghitung. Satu bulan itu demikian, demikian, dan demikian, yakni terkadang 29 (hari) dan terkadang 30 (hari) (HR. Al-Bukhari 1913 dan Muslim 1080)

Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam juga bersabda :

« لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه ، فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين »

Janganlah kalian bershaum (Ramadhan) sampai kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka (ber’idul fithri) sampai kalin melihat hilal. Jika ada awan yang menghalangi kalian (dari melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan (jumlah hari dalam sebulan) menjadi 30. (HR. Al-Bukhari 1906, 1907 dan Muslim 1080)

Dari sini menjadi jelaslah bahwa pedoman untuk menetapkan waktu (pelaksanaan) Shaum (Ramadhan), berbuka (’Idul Fithri), dan bulan-bulan yang lain adalah dengan ru’yah atau ikmal (menyempurnakan) bilangan hari (menjadi 30). Semata-mata lahirnya Bulan baru secara syar’i tidaklah teranggap sebagai patokan untuk menetapkan masuk dan berakhirnya bulan qamariyah. Ini berdasarkan kesepakatan (Ijma’) para ‘ulama yang mu’tabar, selama tidak berhasil ru`yatul hilal secara syar’i. Ini semua adalah kaitannya dengan penetapan waktu pelaksanaan ibadah. Barangsiapa dari kalangan orang-orang sekarang yang menyelisihi perkara tersebut, maka dia telah didahului oleh ijma’/kesepakatan (para ‘ulama) terdahulu, dan pendapatnya tersebut tertolak. Karena tidak berhak seorang pun berbicara (suatu permasalahan tertentu) sementara di sana sudah ada sunnah (hadits/ketetapan) Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam dan juga sudah ada ijma’ para ‘ulama salaf.

Adapun Hisab (perhitungan) peredaran Matahari dan Bulan, maka itu tidak bisa dijadikan patokan/penentu dalam permasalahan ini, disebabkan alasan yang telah kami jelaskan barusan, dan juga disebabkan beberapa perkara sebagai berikut :

a. Sesugguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan pelaksanaan shaum (Ramadhan) berdasarkan ru`yatul hilal, dan melaksanakan ‘Idul Fithri juga berdasarkan ru`yatul hilal, dalam sabda beliau :

« صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته »

Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’Idul Fithrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal. (HR. Muslim 1080 dan An-Nasa`i 2124)

Beliau juga membatasi perkara tersebut (Ramadhan dan ‘Idul Fithri) hanya berdasarkan ru`yatul hilal dalam sabdanya :

« لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه »

Janganlah kalian melaksanakan shaum (Ramadhan) sampai kalian berhasil melihat hilal, dan janganlah kalian melaksanakan ‘Idul Fithri sampai kalian berhasil melihatnya. (HR. Al-Bukhari 1773 dan Muslim 1795)

Beliau memerintahkan kaum muslimin jika terdapat penghalang (sehingga hilal tidak berhasil dilihat/diru`yah) pada malam ke 30, agar menyempurnakan bilangan jumlah hari dalam bulan tersebut menjadi 30, dan beliau tidak memerintahkan untuk merujuk kepada para ahli hisab. Kalau seandainya perkataan mereka (ahli hisab) itu merupakan satu-satunya landasan (hukum untuk penentuan Ramadhan - ‘Idul Fithri) atau landasan (hukum) lain (alternatif) di samping ru’yah dalam menetapkan bulan tertentu, maka beliau pasti akan menjelaskannya. Maka tatkala tidak ternukil dari Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam hal yang demikian itu, bahkan telah ternukil dari beliau kebalikannya, maka ini menunjukkan bahwasanya tidaklah teranggap secara syar’i segala sesuatu selain ru’yah atau ikmal (penyempurnaan 30 hari) dalam menentukan bulan (qamariyyah). Ini adalah syari’at yang senantiasa terus berlaku sampai hari kiamat. Allah ta’ala berfirman

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

Dan tidaklah Rabbmu lupa. (Maryam: 64)

Anggapan yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ru’yah dalam hadits tersebut adalah ru`yah dengan ilmu atau perkiraan kuat akan wujudul hilal, [2] atau imkanur ru`yah, [3] dan bukan bermakna ibadah dengan pelaksanaan ru`yah itu sendiri, maka anggapan ini adalah anggapan yang tertolak. Karena kata “ru’yah” dalam hadits tersebut hanya mengenai satu obyek saja, sehingga yang dimaksud dengannya tidak lain adalah ru’yah bashariyah (ru`yah dengan indera penglihatan/mata), bukan ru’yah ilmiyah (ru`yah dengan ilmu hisab). Juga karena para shahabat Nabi memahami bahwasanya kata “ru`yah” dalam hadits tersebut bermakna ru`yah dengan mata kepala, sementara mereka adalah orang-orang yang paling mengerti tentang Bahasa ‘Arab dan paling mengerti tentang maksud syari’ah ini daripada orang-orang generasi setelahnya.

Demikianlah pula, berlangsungnya praktek amalan tersebut (ru`yatul hilal) pada zaman Nabi dan zaman shahabat. Mereka sama sekali tidak menyerahkan permasalahan penetapan waktu tersebut kepada para ahli hisab.

Tidak benar pula sebuah pendapat yang mengatakan bahwasanya ketika Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda

« فإن غم عليكم فاقدروا له »

Jika terhalangi oleh kalian awan, maka tentukanlah untuknya. (HR. Al-Bukhari 1767 dan Muslim 1799)

Beliau memaksudkan dengannya adalah perintah kepada kita agar memperkirakan posisi-posisi Bulan, supaya kita dapat mengetahui berdasarkan Hisab kapan awal masuk dan berakhirnya bulan (qamariyah).

(Pendapat tersebut tidak benar) karena kalimat riwayat tersebut telah ditafsirkan oleh riwayat :

« فاقدروا له ثلاثين »

Tentukanlah menjadi 30 hari [4] . (HR. Muslim 1796)

dan yang semakna dengannya.

Anehnya, bersamaan dengan itu, orang-orang yang menyerukan kepada penyatuan awal masuknya bulan, mereka bersandar kepada Hisab posisi-posisi Bulan baik dalam cuaca cerah maupun mendung, padahal dalam hadits itu sendiri hanya membatasi “penentuan”, yaitu ketika langit dalam keadaan mendung. [5]

b. Sesungguhnya sandaran penetapan bulan qamariyah dengan cara ru`yatul hilal adalah telah sesuai dengan maksud dan tujuan dari Syari’at Islamiyyah yang mudah. Karena ru’yatul hilal (melihat hilal) merupakan suatu perkara umum yang memudahkan kebanyakan manusia, baik dari kalangan orang-orang yang awam maupun orang-orang yang khusus, baik mereka yang hidup di pedalaman padang pasir maupun di daerah perkotaan. Berbeda halnya kalau seandainya syari’at menyandarkan hukum penetapan waktu tersebut dengan Hisab. Maka hal tersebut hanya akan menimbulkan kesulitan dan tidak sesuai (bertentangan) dengan maksud dan tujuan Syari’at Islamiyyah. Karena mayoritas umat ini, mereka tidak mengerti tentang ilmu Hisab.

Klaim yang menyatakan bahwa sifat ummi (tidak mengerti) Hisab Astronomis telah sirna dari umat ini, merupakan klaim yang tidak bisa diterima. Kalaupun seandainya klaim tersebut bisa diterima, maka tetaplah yang demikian itu tidak bisa mengubah hukum Allah. Karena penetapan syari’at ini bersifat umum untuk umat (yang berlaku) di segenap masa/zaman.

c. Bahwasanya para ‘ulama umat ini pada masa awal-awal Islam dahulu, mereka semua telah sepakat tentang penggunaan cara ru’yah ini untuk penetapan bulan-bulan qamariyah, tidak dengan menggunakan Hisab (perhitungan). Tidak pernah diketahui ada salah seorang dari mereka (para ‘ulama pada awal Islam) menggunakan sistem Hisab dalam penetapan bulan-bulan qamariyah, baik ketika langit terlihat mendung dan yang semacamnya, terlebih lagi kalau langit cerah, mereka (para ulama tersebut) sama sekali tidak memakai cara Hisab.

d. Penentuan jeda waktu (antara tenggelamnya Matahari dan Bulan di ufuk barat) sehingga dengannya memungkinkan terlihatnya hilal setelah terbenamnya Matahari, jika tidak ada suatu penghalang, merupakan bagian dari perkara-perkara yang bersifat ijtihadiyah (tidak pasti) yang para tokoh ahli hisab sendiri telah bersilang pendapat dalam menentukannya. Demikian pula dalam menentukan faktor penghalang (terlihatnya hilal). Maka bersandar pada Hisab Falaki pun dalam penentuan waktu-waktu ibadah tidak bisa merealisasikan persatuan yang mereka dengung-dengungkan. Oleh karena itu datanglah syari’at ini yang memberikan ketetapan dengan cara ru’yatul hilal saja tidak dengan cara Hisab, sebagai rahmat bagi umat dan menutup segala perselisihan, serta untuk mengembalikan umat ini kepada perkara yang bisa diketahui oleh semua lapisan di manapun mereka berada.

Dan hendaklah menjadi perhatian, bahwasanya perbedaan mathla’ termasuk dari perkara-perkara yang terdapat padanya perselisihan pendapat di kalangan para ‘ulama. Hai’ah Kibarul ‘Ulama (Majelis Tinggi ‘Ulama Besar Kerajaan Saudi Arabia) telah mempelajari hal ini di dalam salah satu Daurah (pertemuan rutin) yang dilaksanakan beberapa waktu yang lalu, dan mereka telah mengambil sebuah keputusan yang telah disepakati oleh mayoritas, yaitu :

Sungguhnya pendapat yang paling kuat dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan bahwasanya di setiap negeri dapat melakukan ru’yatul hilal sendiri, serta wajib atas mereka untuk mengembalikan permasalahan tersebut kepada para ‘ulama. Ini sebagai bentuk pengamalan hadits Rasulullah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam shahihnya dari Kuraib dari shahabat Ibnu Abbas.

عن كريب أن أم الفضل بنت الحارث بعثته إلى معاوية في الشام . قال: فقدمت الشام فقضيت حاجتها، واستهل علي رمضان وأنا بالشام ، فرأيت الهلال ليلة الجمعة ، ثم قدمت المدينة آخر الشهر، فسألني عبد الله بن عباس، ثم ذكر الهلال فقال : متى رأيتم الهلال ؟ فقلت : رأيناه ليلة الجمعة. فقال: أنت رأيته. فقلت: نعم، ورآه الناس وصاموا وصام معاوية ، فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت فلا نزال نصوم حتى نكمل الثلاثين أو نراه . فقلت: أولا تكتفي برؤية معاوية ؟ فقال: لا، هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم

Dari Kuraib bahwasanya Ummul Fadhl bintu Al-Harits telah mengutusnya untuk menghadap Mu’awiyah di Syam. Kuraib berkata : Sampailah aku di negeri Syam, dan aku selesaikan keperluan-keperluannya. Hingga terlihatlah hilal Ramadhan sementara aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku kembali ke kota Madinah pada akhir bulan. Maka bertanyalah ‘Abdullah bin ‘Abbas kepadaku, hingga kemudian dia menyebutkan tentang hilal. Ibnu ‘Abbas bertanya : “Kapan kalian melihat hilal?” Aku (Kuraib) menjawab : “Kami melihatnya pada malam Jum’at.” Kemudian dia (Ibnu Abbas) bertanya lagi : “engkau sendiri melihatnya?” Aku katakan: “Ya, dan penduduk Syam juga melihatnya. Maka merekapun melaksanakan shaum (berdasarkan ru`yah tersebut), demikian juga Mu’awiyah juga melaksanakan shaum (berdasarkan ru`yah tersebut). Ibnu ‘Abbas kemudian berkata : “Namun kami di sini melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus bershaum hingga kami sempurnakan 30 hari atau kami melihat hilal sebelumnya.” Aku (Kuraib) katakan : “Apakah engkau tidak mencukupkan (untuk mengikuti hasil) ru’yah yang dilakukan Mu’awiyah?” Maka Ibnu Abbas berkata : “Tidak, demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam memerintahkan kepada kita.” (HR. Muslim 1087)

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya ru’yatul hilal yang teranggap (bisa dijadikan patokan) adalah ru`yatul hilal negeri Makkah saja, maka pernyataan seperti ini adalah tidak memiliki sumber yang jelas dan tidak memiliki dalil atasnya. Pernyataan tersebut memberikan suatu konsekuensi bahwasanya tidak wajib berpuasa jika di daerah Makkah belum terlihat hilal walaupun di tempat lain telah terlihat hilal.

Sebagai penutup aku meminta kepada Allah untuk melimpahkan nikmat-Nya kepada kaum muslimin berupa pemahaman terhadap agamanya dan beramal dengan Kitab-Nya (Al-Qur`an) dan sunnah (hadits-hadits dan bimbingan) Nabi-Nya, dan semoga Allah melindungi mereka dari bahaya fitnah-fitnah. Semoga Allah mengangkat penguasa bagi mereka (kaum muslimin) dari kalangan orang-orang pilihan yang baik. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين .

* * *

Sumber : Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Ibn Baz (juz 15 / hal. 109-114)

[1] Pernyataan Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah yang diterbitkan di majalah Al-Jami’ah Al-Islamiyyah (Universitas Islam) di kota Al-Madinah Al-Munawwarah - Saudi ‘Arabia, tahun 1394 H.

[2] Wujudul Hilal adalah salah kriteria penentuan awal bulan Qamariyyah berdasarkan ilmu Hisab Falaki. Kriteria ini menyatakan bahwa awal bulan dimulai ketika pada waktu maghrib, Matahari tenggelam terlebih dahulu dibanding Bulan setelah sebelumnya terjadi ijtima’ Matahari-Bulan. Sehingga kriteria ini murni berdasarkan Hisab, tanpa memperhitungkan apakah hilal saat itu benar-benar bisa diru`yah ataukah tidak. Berapapun ketinggian hilal saat itu juga tidak diperhatikan. Selama ketinggiannya positif, Matahari tenggelam terlebih dahulu, dan didahului ijtima’, maka berarti bulan qamariyyah sudah masuk, karena menurut mereka dalam kondisi tersebut berarti hilal sudah wujud (ada/terjadi) di ufuk langit. Kriteria ini dianut oleh Perserikatan Muhammadiyah, dan lainnya.

[3] Imkanur Ru`yah adalah salah satu kriteria penentuan awal bulan Qamariyyah berdasarkan ilmu Hisab Falaki. Kriteria ini tidak hanya menghitung kondisi wujudul hilal, tapi juga menetapkan ketinggian tertentu dan kondisi-kondisi lainnya supaya hilal memungkinkan untuk dilihat. Yakni sekadar memungkinkan secara perhitungan. Dalam penentuan ketinggian hilal saja, mereka berbeda-beda. Ada yang mematok 2 derajat, ada yang 4 derajat, ada yang 7 derajat, bahkan ada yang 12 derajat. Ada pula yang menyatakan bahwa mematok ketinggian tertentu untuk hilal tidak cukup, tapi harus dipadukan dengan faktor-faktor lain. Dan seterusnya. Kriteria ini di antaranya dianut oleh NU.

[4] Sehingga makna “perkirakanlah” adalah ikmal (menggenapkan) bilangan bulan menjadi 30 hari. Bukan bersandar kepada Hisab Falaki.

[5] Yakni kalau seandainya mereka konsekuen berdalil dengan hadits Nabi :

« فإن غم عليكم فاقدروا له »

“Apabila hilal terhalangi atas kalian, maka tentukanlah.”

Bahwa maksud hadits tersebut adalah tentukanlah dengan menggunakan ilmu Hisab Falaki, mestinya mereka baru menggunakan Hisab Falaki ketika kondisi cuaca mendung, karena hadits tersebut hanya berkaitan ketika kondisi mendung. Ternyata faktanya, mereka tetap menggunakan Hisab Falaki, baik ketika mendung maupun cerah.

(Download format ms-word di sini http://www.salafishare.com/id/312J71VP5Z03/Hukum%20bersandar%20pada%20Hisab%20Falaki.doc)

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=336 via http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1501)

Tidak ada komentar: