Penulis: Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi
َإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُوْنِ. فَتَقَطَّعُوا أَمْرَهُم بَيْنَهُمْ زُبُراً كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Rabbmu, maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah-belah menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (Al-Mukminun: 52-53)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu”
Yaitu agama kalian –wahai para Nabi– adalah agama yang satu, dan ajaran yang satu yaitu menyeru untuk beribadah hanya kepada Allah k, tidak ada sekutu bagi-Nya (Tafsir Ibnu Katsir, 3/248). Maka lafadz ‘umat’ yang dimaksud dalam ayat ini adalah agama.
فَتَقَطَّعُوا
Maknanya adalah
افْتَرَقُوا
(berpecah belah).
Yaitu, para umat menjadikan agama mereka yang satu menjadi beberapa agama, setelah mereka diperintahkan untuk bersatu. (Tafsir Al-Qurthubi, 12/129)
زُبُراً
Makna zubur dalam ayat ini diperselisihkan.
Ada yang mengatakan bahwa zubur adalah jamak dari zabuur yang berarti kitab-kitab, yaitu mereka mengarang kitab-kitab dan kesesatan yang mereka susun. Ini adalah pendapat Ibnu Zaid.
Adapula yang mengatakan bahwa mereka memecah belah kitab-kitab, satu kelompok mengikuti shuhuf (lembaran-lembaran), satu kelompok lagi mengikuti Taurat, kelompok lainnya mengikuti Zabur, dan yang lain mengikuti Injil. Kemudian mereka mengubah semua (kitab) tersebut. Pendapat ini disebutkan oleh Qatadah.
Ada pula yang berkata bahwa maknanya adalah setiap kelompok beriman dengan satu kitab dan mengingkari kitab-kitab lainnya.
Adapula yang membaca dengan mem-fathah-kan huruf zay (
زَبُراً
), yang maknanya adalah potongan-potongan seperti potongan besi. Dan ini termasuk qira‘ah (bacaan) Al-A’masy dan Abu ‘Amr. (lihat Tafsir Al-Qurthubi, 12/130)
كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ
“Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).”
Yaitu setiap kelompok suka dengan kesesatan yang ada padanya karena mereka menyangka bahwa mereka adalah orang-orang yang diberi petunjuk. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/248)
Penjelasan Makna Ayat
Al-Allamah As-Sa’di t berkata:
“Sesungguhnya ini adalah umat kalian, yaitu jamaah kalian –wahai sekalian para rasul– adalah jamaah yang satu, yang bersepakat di atas satu agama, dan Rabb kalian pun hanyalah satu. Maka bertakwalah kalian kepada-Ku, dengan menjalankan perintah-Ku dan menjauhi larangan-Ku. Dan sungguh Allah k telah memerintahkan kepada kaum mukminin seperti apa yang diperintahkan kepada para rasul, karena para rasul-lah yang mereka jadikan sebagai panutan, dan di belakang rasul pula mereka berjalan. Sehingga Allah k berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kalian menyembah.” (Al-Baqarah: 172)
Oleh karena itu, wajib bagi setiap orang yang menisbahkan dirinya kepada para nabi dan juga yang lainnya untuk mematuhi hal ini dan mengamalkannya. Namun orang-orang dzalim dan memecah-belah tidaklah menghendaki melainkan penyimpangan. Oleh karena itu Allah k menyatakan selanjutnya: “Mereka telah berpecah belah dalam perkara mereka menjadi kelompok-kelompok”. Setiap kelompok merasa senang dengan ilmu dan agama yang ada pada mereka dan mengklaim bahwa merekalah yang benar, sedangkan yang lainnya tidak di atas kebenaran. Padahal yang berada di atas kebenaran di antara mereka adalah yang berada di atas jalan para rasul, dengan memakan makanan yang baik dan halal, beramal shalih. Sedangkan yang selain itu, maka mereka berada di atas kebatilan.” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 554)
Nampak dari ayat ini, bahwa ada dua hal pokok yang menjadi prinsip dakwah para nabi dan rasul pada setiap zaman dan generasi, yaitu:
Pertama: mentauhidkan Allah k dalam beribadah kepada-Nya
Kedua: menyatukan umat manusia agar berjalan di atasnya dan tidak berpecah-belah.
Adapun tauhidullah, maka hal ini diambil dari firman-Nya
وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُوْنِ
“dan Aku adalah Rabbmu, maka bertakwalah kepada-Ku”. Allah k telah menjadikannya sebagai asas dakwah para nabi dan Rasul, sehingga tidaklah terjadi perbedaan di antara mereka dalam hal mengajak manusia untuk memurnikan segala bentuk ibadah kepada Allah k, dan meninggalkan segala bentuk praktek kesyirikan yang terjadi di tengah-tengah umatnya. Allah k berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلاً أَنِ اُعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلاَلَةُ فَسِيْرُوا فِي اْلأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu’, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (An-Nahl: 36)
Dan firman-Nya:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada sesembahan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian.” (Al-Anbiya`: 25)
Dan firman-Nya:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوْحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيْمٍ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: ‘Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada sesembahan bagimu selain-Nya.’ Sesung-guhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah k), aku takut kamu akan ditimpa adzab hari yang besar (kiamat).” (Al-A’raf: 59)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Allah k yang menguatkan dakwah tauhid tersebut.
Adapun yang kedua, yaitu mempersatukan umat di atas tauhid dan menghindari perpecahan, maka diambil dari firman-Nya
وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu”, dan juga firman-Nya
فَتَقَطَّعُوا أَمْرَهُم بَيْنَهُمْ زُبُراً
“Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah-belah menjadi beberapa pecahan.”
Ayat Allah k yang mulia ini menjelaskan bahwa hakekat persatuan umat adalah dengan menyembah Allah k berdasarkan syariat yang dibawa oleh para rasul, baik dalam akidah maupun ibadah. Dan umat disatukan di atas syariat tersebut, sehingga Rabb mereka satu, agama mereka satu, akidah mereka satu, dan Nabi mereka pun satu, yang dijadikan sebagai imam yang mereka berjalan di atas syariatnya. Dan tujuan mereka pun satu yaitu untuk meninggikan kalimat Allah k dalam diri-diri mereka dan juga dalam diri orang lain. Dan dengan harapan yang satu, yaitu memperoleh keridhaan Allah k dan jannah (surga)-Nya, serta selamat dari kemurkaan dan neraka-Nya.
Namun yang terjadi, kebanyakan umat mengamalkan selain apa yang telah diperintahkan kepada mereka. Sehingga mereka pun terpecah menjadi berkelompok-kelompok, dan masing-masingnya memiliki pengikut. Dan mereka menjadi kelompok-kelompok yang saling membenci satu sama lain, saling memusuhi, di mana setiap kelompok mengklaim bahwa dialah yang berada di atas kebenaran, dan selainnya di atas kebatilan. Setiap kelompok berbangga diri terhadap apa yang ada pada mereka.
Padahal perselisihan tidaklah selalu membuahkan perpecahan dan tidak selalu memberi pengaruh yang negatif dalam persatuan umat, kecuali apabila hal tersebut terjadi dalam perkara prinsip-prinsip agama dan akidah, seperti tauhid dengan tiga pembagiannya. Maka barangsiapa yang berkeyakinan bolehnya beristighatsah kepada makhluk dalam perkara yang tidak ada sesuatupun yang mampu melakukannya kecuali Allah k, atau tidak ambil pusing (masa bodoh) dengan orang-orang yang thawaf di kuburan, dan bahkan memberi kesempatan kepada orang-orang yang ber-taqarrub (mendekatkan diri) dan bernadzar kepada kuburan, lalu menyeru para penyembah kubur untuk mendatanginya dan memberikan dorongan kepadanya untuk mengambil kebaikan dan menolak keja-hatan, dan menganggap bahwa orang yang melakukan hal tersebut tidak mengeluarkannya dari Islam, bahkan tetap menganggapnya sebagai saudara, menjadikannya sebagai salah satu anggota dalam berdakwah, maka sesungguhnya dengan hal tersebut dia telah menggugurkan tauhid uluhiyyah.
Dan barangsiapa yang menakwilkan sifat-sifat Allah k dengan sesuatu yang membatalkan maknanya yang hakiki yang dikehendaki oleh Allah k dalam Kitab-Nya, dan yang dikehendaki oleh Nabi-Nya sebagai penyampai dari-Nya, dengan persangkaan bahwa zhahir ayat tersebut bukanlah yang diinginkan –karena bila memahami secara zhahir maka menyebabkan terjadinya penyerupaan dengan makhluk– seperti anggapan kaum Asy’ariyyah, atau meniadakan sifat-sifat Allah k secara keseluruhan seperti anggapan kaum Jahmiyyah dan Mu’tazilah, atau menyangka bahwa Al-Qur`an bukanlah firman Allah k, namun hanyalah makhluk seperti makhluk yang lainnya, dan berpendapat bahwa Allah k tidak dilihat oleh kaum mukminin di akhirat seperti anggapan kaum Mu’tazilah; Dan barangsiapa yang menganggap bahwa seorang hamba menciptakan perbuatannya sendiri seperti anggapan kaum Qadariyyah yang mengingkari takdir, atau mengatakan bahwa seorang hamba tidak punya kehendak, seperti batu yang didorong atau seperti ranting yang digerakkan oleh angin seperti kaum Jabriyyah yang ekstrem dalam menetapkan taqdir dan perbuatan-perbuatan Allah k, atau menyangka bahwa pelaku dosa besar adalah kafir dan kekal dalam neraka seperti anggapan kaum Khawarij, atau berkata bahwa dia (yaitu pelaku dosa besar) tidak mukmin dan tidak pula kafir, sedangkan di akhirat dia akan kekal dalam neraka, seperti anggapan kaum Mu’tazilah; Atau menganggap bahwa iman tidaklah dipengaruhi dengan adanya dosa, atau iman itu hanya sekedar pembenaran, walaupun tidak diucapkan dan tidak diamalkan seperti anggapan kaum Murji’ah; Atau menganggap bahwa bacaan dan cara-cara tarekat si fulan atau tarekat syaikh fulan lebih afdhal dari membaca Al-Qur`an, atau lebih afdhal dari membaca hadits Nabi dan bahwa tarekat itulah yang benar, atau lebih mengutamakan tarekat Sufiyyah daripada akidah Salafiyyah; Atau meyakini bahwa 12 imam terpelihara dari kesalahan, dan meyakini kekafiran para shahabat, sebab mereka lebih mengutamakan Abu Bakr, Umar dan Utsman daripada Ali dalam kekhilafahan, dan membolehkan mencela para shahabat g seperti anggapan kaum Rafidhah; Maka semua keyakinan ini dan yang semisalnya dengan berbagai tingkatannya, inilah yang memecah belah umat. Dan inilah yang menyebabkan terjadinya perpecahan yang tercela sebagaimana yang ditegaskan dalam Al-Qur`an.
Adapun perselisihan dalam perkara furu’, maka tidaklah menyebabkan adanya tafriq (berpecah-belah) dan tidak pula berakibat saling mencela satu sama lain. Karena hal ini terjadi pada zaman Nabi n, dan tidak menyebabkan saling mencela antara yang satu dengan yang lainnya, dan tidak pula bersikap keras antara yang satu dengan yang lainnya.
Dalam Shahih Al-Bukhari dari Ibnu ‘Umar c, dia berkata: Nabi n bersabda pada saat perang Ahzab: “Janganlah salah seorang kalian shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah”. Kemudian sebagian shahabat mendapati waktu shalat Ashar di perjalanan. Sebagian shahabat berkata: ‘Kami tidak mengerjakan shalat sampai kami tiba (di Bani Quraizhah).’ Sebagian yang lain berkata: ‘Kita tetap shalat (pada waktunya). Bukan itu (shalat Ashar di Bani Quraizhah) yang beliau inginkan dari kita.’ Lalu perkara ini disebutkan kepada Rasulullah n dan beliau tidak mencela seorangpun dari mereka.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Maghazi, 30/4119)
Juga dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan bahwa Muhammad bin Abi Bakr bertanya kepada Anas bin Malik z dalam keadaan keduanya sedang berangkat dari Mina menuju Arafah: “Apa yang kalian dulu kerjakan (berupa dzikir, pen.) bersama Rasulullah n pada hari ini?” Beliau z menjawab: “Di antara kami ada yang bertalbiyah, dan beliau tidak mengingkarinya. Dan di antara kami ada pula yang bertakbir, dan beliau pun tidak mengingkarinya.” (HR. Al-Bukhari, 86/1659)
Dan para shahabat Rasulullah n telah berbeda pendapat dalam berbagai masalah furu’ dan mereka tidak saling mencela. Tidak pula memunculkan celaan, pemboikotan, dan perpecahan. Kemudian pula, bahwa merupakan tabiat manusia, mereka berselisih dalam perkara yang diperbolehkan untuk ijtihad berupa hukum-hukum furu’, dipandang dari perbedaan pandangan akal dan kesiapan fitrahnya. Dengan sebab inilah tidak ada celaan atasnya.
Adapun jika telah menyentuh agama, akidah dihinakan, maka sesungguhnya mereka (para shahabat) sangat marah, walaupun orang tersebut termasuk kerabatnya yang terdekat. Telah shahih dari Ibnu ‘Umar c tatkala beliau c menyebutkan hadits Rasulullah n:
إِذَا اسْتَأْذَنَتْ أَحَدَكُمُ امْرَأَتُهُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَأَذَنْ لَهَا، لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ
“Jika istri salah seorang kalian meminta izin kepada kalian untuk pergi ke masjid maka hendaklah dia mengizinkannya. Janganlah kalian mencegah hamba-hamba wanita Allah (keluar menuju) masjid-masjid Allah.”
Maka Bilal (salah seorang anak Ibnu ‘Umar c, -pen.) berkata: “Demi Allah, kami akan mencegah mereka, jika tidak maka dia akan membuat kerusakan.”
Perawi hadits ini berkata: “Maka (Ibnu ‘Umar c) mencelanya dengan celaan yang buruk, yang aku tidak pernah mendengar (celaan) seperti itu sebelumnya. Dan beliau berkata: ‘Aku memberitakan kepadamu hadits Rasulullah n, lalu kamu berkata: ‘Demi Allah, kami akan mencegahnya’?!” (HR. Al-Bukhari no. 865 dan Muslim no. 442)
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari berkata: “(Kisah ini) terdapat dalam riwayat Ibnu Abi Najih dari Mujahid. Adapun menurut riwayat Al-Imam Ahmad, disebutkan bahwa Abdullah bin ‘Umar tidak mengajaknya bicara sampai beliau meninggal.”
Dan dalam Musnad Al-Imam Ahmad disebutkan bahwa Abu Bakrah z berkata:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَذْفِ
“Rasulullah n melarang melempar dengan kerikil.”
Maka salah seorang anak pamannya berkata: “Melarang dari ini?”, sambil melempar kerikil dengan dua jarinya. Maka Abu Bakrah z berkata: “Apakah engkau tidak melihatku memberitakan kepadamu hadits Rasulullah n bahwa beliau melarang, lalu engkau melakukannya?! Demi Allah k, aku tidak akan mengajakmu berbicara selama hidupku!”, atau (kalimat) yang semisal dengan ini.” (Musnad Al-Imam Ahmad, 5/46)
Demikian pula yang dialami oleh Abdullah bin Mughaffal z bersama seorang kerabatnya dalam masalah melempar kerikil dengan dua jari, disebutkan dalam Musnad (5/55). (Lihat kitab Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, An-Najmi, hal. 99-102)
Al-Wala` wal Bara` Hanyalah di atas Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya
Kita memetik faedah dari ayat ini bahwa tolak ukur kebenaran hanyalah yang datang dari Allah k, Rasul-Nya, dan apa yang telah menjadi kesepakatan pendahulu umat ini. Adapun selain itu maka hal tersebut adalah kesesatan, perpecahan dan penyimpangan dari jalan Allah k. Firman-Nya:
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْراً
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Agama kaum muslimin dibangun di atas ittiba’ (ikut) terhadap Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta apa yang telah disepakati oleh umat ini. Ketiga perkara ini merupakan prinsip-prinsip yang tetap terjaga (dari kesesatan). Dan apa saja yang diperselisihkan umat ini, maka mereka kembalikan kepada Allah k dan Rasul-Nya. Dan tidak diperbolehkan bagi siapapun untuk mengangkat seseorang lalu mengajak kepada jalan orang itu, dan ber-wala` dan bara` di atasnya, kecuali kepada Nabi n. Dan tidak boleh seseorang memegang suatu perkataan, lalu ber-wala` dan bara` di atas perkataan tersebut, kecuali bila itu perkataan Allah k dan perkataan Rasul-Nya n. Dan apa yang disepakati umat ini. Bahkan (bersikap wala` dan bara` bukan di atas tiga perkara ini) termasuk perbuatan ahli bid’ah, yang mereka mengangkat seseorang atau suatu perkataan lalu memecah belah umat dengannya, bersikap loyal dan memusuhi di atas perkataan atau penisbatan tersebut.” (Dar`ut Ta’arudh, 1/272; Mauqif Ibnu Taimiyyah, 1/269-270)
Jika kita perhatikan ayat ini, maka jelaslah bahwa apa yang selama ini diamalkan oleh kelompok-kelompok sesat, baik itu Ikhwanul Muslimin, Jamaah Tabligh, Islam Jamaah, tarekat Shufiyyah, Hizbut Tahrir, dan yang lainnya adalah kesesatan yang nyata.
Maka perhatikanlah, semoga kita termasuk di antara hamba-hamba yang diberi hidayah.
Amin.
(http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=307)
Sumber URL : http://www.darussalaf.or.id
[AUDIO] Kajian Rutin : Tanda – Tanda Akhir Zaman
2 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar