بسم الله الرحمن الرحيم



Mendulang Faedah dari Wasiat Dakwah Rasulullah

Penulis : Redaksi As-Salafy.Org

Dakwah merupakan amalan yang sangat besar nilainya di sisi Allah subhanahu wata’ala. Seorang da’i yang menyeru dan mendakwahkan agama ini di tengah-tengah umat, dia akan masuk ke dalam golongan orang-orang yang dinyatakan Allah I dalam firman-Nya (yang artinya): “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru (berdakwah) kepada Allah, mengerjakan amalan shalih dan mengatakan: sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Fushshilat: 33)
Namun terkadang yang menjadi kendala bagi seorang da’i adalah kurangnya ilmu yang cukup (sebagai bekal) dalam dakwahnya. Padahal ilmu merupakan bekal yang tidak boleh ditinggalkan dalam perjalanan dakwah seorang da’i di jalan Allah I. Allah I tegaskan dalam firman-Nya (yang artinya): “Katakanlah (wahai Muhammad) ini adalah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah kepada Allah di atas bashirah…” (Yusuf: 108)
Al Imam Abdurrahman As Sa’di menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “di atas bashirah” adalah di atas ilmu dan keyakinan tanpa ada keraguan padanya.
Dari ayat yang mulia tersebut kita bisa mengambil faedah bahwa berdakwah di atas ilmu merupakan prinsip Nabi r dan orang-orang yang mengikuti beliau r. Dakwah yang mereka lakukan senantiasa dilakukan di atas bimbingan ilmu dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah r.
Para ulama telah merinci bahwasanya ilmu yang harus dimiliki oleh setiap da’i adalah ilmu tentang syari’at agama itu sendiri, ilmu tentang metode dalam berdakwah, dan ilmu (pengetahuan) tentang kondisi mad’u (orang-orang yang didakwahi).
Para pembaca yang mulia, pada edisi kali ini, kita akan mencoba untuk mengkaji salah satu hadits Rasulullah r yang di dalamnya sarat dengan faedah yang terkait dengan prinsip dan metode dalam berdakwah. Mudah-mudahan bisa menjadi bekal dalam perjalanan dakwah anda di jalan Allah I.

Bimbingan Nabi r Kepada Shahabatnya
Rasulullah r yang diberikan amanah oleh Allah I untuk menyampaikan risalah ini kepada umat telah memberikan bimbingan dan pengajaran tentang bagaimana seorang da’i berdakwah di jalan Allah I, beliau r mempraktekkan langsung ayat-ayat yang turun kepada beliau r sebagai pelajaran dan contoh bagi umatnya. Perhatikan bagaimana Rasulullah r mengarahkan shahabatnya dalam berdakwah sebagaimana yang dituturkan shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas t berikut:

“Bahwasanya Rasulullah r ketika mengutus Mu’adz (bin Jabal) ke Yaman, beliau berkata: Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah yang pertama kali engkau dakwahkan kepada mereka: Syahadat L Ilha Illallh –dalam riwayat lain: menauhidkan Allah–, jika mereka telah menaatimu dalam perkara tersebut (tauhid), ajarkan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam, jika mereka telah mentaatimu dalam perkara tersebut (shalat lima waktu), ajarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shadaqah yang disalurkan dari orang-orang kaya kepada orang-orang miskin, jika mereka telah mentaatimu dalam perkara tersebut (shadaqah), maka hati-hatilah dari (mengambil) harta yang terbaik (paling dicintai) mereka, takutlah kamu dari do’a orang yang terzhalimi, karena sesungguhnya tidak ada penghalang antara do’a mereka dengan Allah (terkabulkan).” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Apabila kita memperhatikan hadits tersebut, kita akan mendapati sekian banyak faedah yang sangat erat kaitannya dengan prinsip dan metode dalam berdakwah. Di antara faedah tersebut adalah:
Pertama, seorang da’i yang hendak berdakwah, hendaknya dia memulai dakwahnya dengan mengajarkan tauhid kepada umat. Ini dengan tegas dinyatakan oleh Nabi r dalam sabdanya (yang artinya): “Maka jadikanlah yang pertama kali engkau dakwahkan kepada mereka adalah Syahadat L Ilha Illallh -dalam riwayat lain: menauhidkan Allah-.”
Mungkin sebagian pembaca akan bertanya-tanya, ‘Bukankah hadits ini berbicara tentang dakwah kepada Ahli Kitab? Mereka adalah orang-orang kafir, tentunya mereka harus diajari syahadat L Ilha Illallh. Sedangkan umat Islam tidak perlu untuk diajari lagi syahadat karena mereka sudah mengerti dan bahkan senantiasa mengucapkan syahadat tersebut dalam setiap dzikir dan wirid-wirid mereka.’
Para pembaca yang dirahmati Allah I, anggapan seperti itu hendaknya dicermati kembali. Mengikrarkan syahadat L Ilha Illallh tidak cukup baginya mengucapkannya dengan lisan saja. Tetapi dia harus mengetahui konsekuensi dari kalimat tersebut. Dia harus memahami maknanya, yakin akan kebenarannya, mengamalkan kandungan yang terdapat di dalamnya. Dan sekian banyak konsekuensi lain yang harus diketahui dan diamalkan oleh setiap muslim.
Oleh karena itulah, umat ini butuh kepada bimbingan tauhid. Mengingat tidak jarang seseorang mengucapkan L Ilha Illallh sekian puluh kali, bahkan sekian ratus kali dalam sehari, tetapi ternyata dia masih saja menyekutukan Allah I dalam beribadah kepada-Nya! Dia masih meminta rizki dan keselamatan kepada orang-orang yang sudah meninggal. Bagaimana mungkin Allah I akan menurunkan barakah-Nya kepada umat yang masih meyakini bahwa di sana ada kekuatan selain Allah I yang bisa mendatangkan musibah dan bencana?
Para pembaca sekalian, sungguh kondisi umat kita sekarang ini sangat jauh dari bimbingan iman dan tauhid. Sebagian mereka, ketika tertimpa musibah, gunung meletus, gempa, banjir lumpur, tsunami, dan yang lainnya justru menyembelih hewan atau memberikan sesajian yang kemudian dipersembahkan kepada “penguasa selain Allah” (bhs. Jawa: sing mbaurekso), yang menurut keyakinan mereka dapat menghilangkan musibah yang mereka alami.
Sungguh orang-orang musyrikin zaman dahulu, ketika mereka sedang ditimpa musibah, justru mereka kembali bertaubat kepada Allah I, mengikhlaskan ibadah dan do’a mereka hanya kepada-Nya. Allah I telah kisahkan keadaan mereka dalam firman-Nya (yang artinya): “Maka ketika mereka menaiki kapal (dan ditimpa musibah gelombang yang besar) mereka berdo’a dengan mengikhlaskannya kepada Allah, maka tatkala Allah selamatkan mereka ke daratan, tiba-tiba mereka kembali berbuat kesyirikan.” (Al Ankabut: 65)
Sekali lagi para pembaca yang mulia, khususnya bagi siapa yang hendak berkhidmat kepada umat, mengajarkan dan mendakwahkan agama ini kepada mereka, hendaklah mencontoh Nabi r sebagaimana dalam hadits tersebut. Diajarkan kepada mereka aqidah yang benar, membimbing mereka kepada tauhid yang murni, iman, dan kemudian diiringi dengan amalan shalih. Yang dengan itu umat ini akan mendapatkan janji Allah I dalam firman-Nya (yang artinya): “Jika seandainya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan membukakan kepada mereka barakah dari langit dan bumi, akan tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al A’raf: 96)
Termasuk perkara penting yang harus diketahui umat –dan masih berkaitan dengan masalah tauhid– adalah keyakinan yang kokoh dan kuat bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan diridhai oleh Allah I. Allah I berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi-Nya adalah Islam.” (Ali Imran: 19)
Dan Allah I juga telah berfirman (yang artinya): “Dan barangsiapa yang memilih selain Islam sebagai agamanya, maka sekali-kali Allah tidak akan menerima agama tersebut, dan dia di akhirat nanti termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85)
Yakni kerugian mutlak dengan dimasukkan kedalam An Nr dan kekal di dalamnya.
Hendaknya dua ayat tersebut benar-benar dijadikan prinsip dan paham yang menghunjam kedalam hati sanubari setiap muslim. Seberat apapun ujian yang menimpanya, kemiskinan, kelaparan, kesempitan ekonomi, dan yang lainnya dari beratnya menjalankan roda kehidupan ini, dia tidak tergoyahkan oleh upaya pemurtadan yang dilakukan syaithan dan bala tentaranya baik dari kalangan jin maupun manusia.
Dia tetap kokoh di tengah derasnya arus Kristenisasi, Hinduisasi, Paganisasi, Ahmadiyahisasi (upaya pemurtadan kaum muslimin dari agama Islam kepada agama Ahmadiyah), dan segala bentuk makar jahat yang dilancarkan oleh musuh-musuh Allah I dan Rasul-Nya r. Dia tetap sabar dan yakin bahwa Allah I pasti akan menolong dia dan memberikan pahala yang besar berupa kenikmatan di negeri akhirat yang kekal abadi. Wallahul Musta’an (hanya Allah-lah tempat meminta pertolongan).
Faedah kedua, didahulukannya perkara tauhid sebelum perkara-perkara yang lain (dalam berdakwah) karena tauhid merupakan perkara pokok dan mendasar dalam agama ini. Tidaklah sah suatu amalan ibadah, shalat, zakat, puasa, dan yang lainnya jika pelakunya belum memurnikan tauhidnya dan mengikhlaskan ibadahnya kepada Allah I. Allah I berfirman (yang artinya): “Dan tidaklah mereka diperintah kecuali agar mereka beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ibadah tersebut kepada-Nya…” (Al Bayyinah: 5)
Faedah ketiga, seorang da’i harus mengetahui keadaan mad’u (yang didakwahi) dan metode yang tepat dalam berdakwah. Karena ucapan Rasulullah r kepada Mu’adz t:
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan Ahli Kitab.”
merupakan pembekalan untuk Mu’adz t tentang keadaan mad’u yang akan dihadapinya, bahwa mereka dari kalangan Ahli Kitab. Sehingga dapat ditempuh metode dakwah yang tepat sesuai dengan kondisi mad’u-nya.
Sebagimana umat manusia ini beraneka-ragam, berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku, tentunya berbeda-beda pula dalam tabi’at, watak dan pola pikir. Oleh karenanya, dibutuhkan sikap hikmah (bijak) dari seorang da’i. Tidak semua mad’u didakwahi dengan metode yang sama. Hal inilah yang diisyaratkan oleh Allah I dalam firman-Nya (yang artinya): “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah, mau’izhah hasanah, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…” (An Nahl: 125)
‘Ali bin Abi Thailb t berkata:

“Ajaklah bicara manusia itu sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka, apakah kamu suka akan didustakannya Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Al Bukhari no. 127)
Faedah keempat, perkara berikutnya yang hendaknya diajarkan kepada umat adalah kewajiban shalat lima waktu. Ini menunjukkan bahwa shalat merupakan perkara penting kedua setelah tauhid.
Jika diibaratkan Islam ini sebuah bangunan, maka pondasinya adalah tauhid dan tiangnya adalah shalat sebagaimana sabda Rasulullah r:

“Pokok dari perkara agama ini adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan atap (puncaknya) adalah jihad fi sabililah.” (HR. At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad)
Bahkan shalat juga menjadi tolok ukur baik dan tidaknya amalan selainnya. Rasulullah r bersabda: “Sesungguhnya perkara pertama yang dihisab dari amalan seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya, jika (shalatnya) baik, maka sungguh dia telah beruntung dan mendapatkan keberhasilan, jika (shalatnya) jelek maka sungguh dia celaka dan rugi.” (HR. At Tirmidzi)
Faedah kelima, penyebutan shadaqah pada hadits tersebut yang dimaksud adalah zakat. Oleh karena itulah zakat merupakan perkara penting berikutnya yang hendaknya ditekankan seorang da’i ketika berdakwah kepada umat.
Faedah keenam, peringatan dari perbuatan zhalim, karena do’a orang yang terzhalimi mustajab.
Mudah-mudahan Allah I senantiasa menjaga dan membimbing kita dalam mengamalkan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Amïn Yن Rabbal ‘ؤlamïn…

Tidak ada komentar: