Tuduhan terhadap Syaikh Rabî’
Tuduhan Ustadz Firanda terhadap guru kami, Syaikh Rabî’ Al-Madkhaly hafizhahullâh, adalah hal yang mengerikan dan bertubi-tubi. Ada lima pokok tuduhan Ustadz Firanda yang Saya tanggapi:
1. Menyelisihi manhaj tiga Imam dakwah Salafiyah pada zaman ini.
2. Ber-manhaj mutasyaddid.
3. Beraqidah kaum Khawarij.
4. Berdusta terhadap para Salaf.
5. Mengharuskan Syaikh Rabî’ dianggap berpaham Murji`ah, sebagaimana Ali Hasan, karena ucapan keduanya mirip dalam masalah amalan sebagai penyempurna keimanan.
Pada tulisan ini, Saya hanya menanggapi empat pokok tuduhan. Adapun
tentang tuduhan berpaham Murji’ah, insya Allah akan Saya bahas secara
khusus.
Tuduhan Pertama
Ustadz Firanda berkata,
“Diantara para masyayikh yang mereka ambil manhajnya dalam hal ini
–bahkan seakan-akan seperti wahyu yang turun dari langit- adalah Syaikh
Rabî’ bin Hâdî Al-Madkhalî –semoga Allah meluruskan langkah beliau dan
mengembalikan beliau kepada kebenaran-.
Barang siapa –yang mau jujur- dalam mengamati sepak terjang Syaikh
Rabî’ Al-Madkhalî, maka ia akan mendapati bahwa manhaj beliau –khususnya
dalam masalah tahdzîr dan tabdî’- sangatlah jauh berbeda dengan manhaj
tiga imam dakwah salafîyah zaman ini, yaitu Syaikh Bin Bâz, Syaikh
Al-Albânî, dan Syaikh Al-’Utsaimîn rahimahumullâh. Ini adalah kenyataan
yang tidak bisa dipungkiri. Manhaj ketiga imam tersebut telah diwarisi
oleh murid-murid senior mereka yang tersebar di Kerajaan Arab Saudi, dan
hingga saat ini saya belum menemukan murid-murid senior mereka yang
bermanhaj seperti manhaj Syaikh Rabî’.”[1]
Tanggapan
Pertama, ucapan Ustadz Firanda, “Diantara para
masyayikh yang mereka ambil manhajnya dalam hal ini –bahkan seakan-akan
seperti wahyu yang turun dari langit-” adalah semata kedustaan dan
tuduhan batilnya.
Alhamdulillah, tidak ada dari kalangan Salafiyyin yang taklid dan fanatik terhadap Syaikh Rabî’ hafizhahullâh, sedang Syaikh Rabî’ juga tidak mengajarkan hal tersebut kepada murid-muridnya.
Memang, pada masa ini, Syaikh Rabî’ hafizhahullâh masuk ke
dalam sebuah tugas berat, yaitu membela agama dari penyimpangan yang
diadakan oleh ahlul batil dan orang-orang yang membelok dari jalan yang
benar. Hal tersebut pasti akan mendatangkan banyak celaan dari pengikut
kebatilan dan pembela ahlul bid’ah, dan jarang ada yang berkorban untuk
kemurnian dakwah Salafiyah seperti usaha beliau. Itu adalah jasa yang
disyukuri, dihargai, dan dipuji oleh para ulama.
Namun, tidak ada yang mengetahui kadar orang yang berilmu, kecuali
orang-orang yang semisal mereka dan orang-orang yang mengagungkan ilmu
dan ulama.
Semoga Allah membalas beliau berupa kebaikan atas jasa beliau kepada Islam dan kaum muslimin.
Di antara mereka yang pernah dibantah oleh Syaikh Rabî’ hafizhahullâh
adalah Sayyid Quthb, Salman Al-’Audah, Safar Hawaly, ‘Aidh Al-Qarny,
Mahmud Al-Haddâd, Abdul Lathif Ba Syumail, Abdurrahman Abdul Khaliq,
‘Adnan Al-’Ur’ûr, Abul Hasan Al-Ma`riby, Falih Al-Harby, Fauzy
Al-Atsary, Ali Hasan Al-Halaby, Yahya Al-Hajûry dan selainnya.
Kebanyakan orang-orang tersebut dibantah setelah dinasihati oleh Syaikh
Rabî’ selama bertahun-tahun, bahkan sebagian dari mereka dinasihati
hingga belasan tahun.
Kalau seorang pengikut Sunnah mengambil teladan dari Syaikh Rabî’ hafizhahullâh
dan mengikuti hujjah yang beliau jelaskan terhadap sejumlah orang-orang
yang menyimpang, apalagi beliau telah didukung oleh ulama sunnah
lainnya, mengapa Ustadz Firanda seenaknya menuduh secara dusta bahwa
apa-apa yang datang dari Syaikh Rabî’ dijadikan ‘seakan-akan seperti
wahyu yang turun dari langit’!!!
Kedua, tentang ucapan Ustadz Firanda “Barang siapa
–yang mau jujur- dalam mengamati sepak terjang Syaikh Rabî’ Al-Madkhalî,
maka ia akan mendapati bahwa manhaj beliau –khususnya dalam masalah
tahdzîr dan tabdî’- sangatlah jauh berbeda dengan manhaj tiga imam
dakwah salafîyah zaman ini, yaitu Syaikh Bin Bâz, Syaikh Al-Albânî, dan
Syaikh Al-’Utsaimîn rahimahumullâh.”
Ini juga termasuk igauan Ustadz Firanda yang berasal dari sangkaannya
yang buruk dan pemahamannya yang lemah. Insya Allah, Saya akan
menerangkan syubhat Ustadz Firanda yang menjadi alasan dia menuduh bahwa
tiga imam dakwah Salafiyah menyelisihi manhaj Syaikh Rabî’.
Di sini, Saya ingin menjelaskan bahwa sejatinya yang berbeda jauh manhaj-nya
dengan tiga imam dakwah Salafiyah adalah justru Ustadz Firanda sendiri.
Sekurang-kurangnya, Ustadz Firanda telah bertentangan dengan tiga imam
dakwah Salafiyah seputar sikap terhadap Syaikh Rabî’ pada dua perkara:
Perkara pertama, tiga Imam dakwah Salafiyah: Syaikh Ibnu Bâz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan Syaikh Al-Albâny rahimahullâh telah memuji aqidah dan manhaj Syaikh Rabî’ hafizhahullâh, sedangkan Ustadz Firanda malah mencela manhaj
dan menjatuhkan kredibilitas beliau sehingga beliau berada di jajaran
orang-orang yang menyandang bid’ah-bid’ah besar, berupa paham Khawarij
dan Murji`ah, serta berdusta terhadap salaf.
Syaikh Ibnu Bâz rahimahullâh pernah ditanya tentang Syaikh Muhammad Amân Al-Jâmy rahimahullâh dan Syaikh Rabî’ hafizhahullâh. Beliau menjawab,
Juga Syaikh Ibnu Bâz rahimahullâh berkata,
Demikian pula Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh. Beliau bergembira menyambut kedatangan Syaikh Rabî’ hafizhahullâh di ‘Unaizah dengan berkata,
Ketika ditanya tentang buku-buku karya Syaikh Rabî’, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh menjawab,
Adapun Syaikh Al-Albâny rahimahullâh, beliau menjawab ketika ditanya tentang Syaikh Rabî’ hafizhahullâh dan Syaikh Muqbil rahimahullâh,
Adapun orang jahil, masih mungkin (ada) hidayah untuknya karena dia menyangka bahwa dirinya berada di atas suatu ilmu. Jika telah tampak ilmu yang benar kepadanya, dia akan mendapat hidayah.
Adapun seorang pengikut hawa nafsu, tidak ada jalan bagi Kita, kecuali Allah Tabâraka wa Ta’âlâ yang memberi hidayah kepadanya.
Mereka yang mengkritik dua syaikh tersebut, sebagaimana yang telah kami sebutkan, mungkin orang jahil sehingga dia diberi pelajaran, atau dia adalah pengikut hawa nafsu maka dilakukan perlindungan kepada Allah dari kejelekannya. Kita memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar (Allah) memberi hidayah kepadanya atau semoga Allah mematahkan punggungnya.”[6]
Perkara kedua, tiga Imam dakwah salafiyah: Syaikh Ibnu Bâz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan Syaikh Al-Albâny rahimahumullâh telah memuji manhaj Syaikh Rabî’ bin Hady Al-Madkhaly dalam membantah ahlul bid’ah, sedangkan Ustadz Firanda “menikam” manhaj Syaikh Rabî.
Syaikh Ibnu Bâz rahimahullâh berkata,
Juga dalam buku Izhâq Abâthîl ‘Abdil Lathîf Bâ Syumail hal. Hal, 104, Syaikh Rabî’ hafizhahullâh berkata,
Syaikh Dr. Khâlid Azh-Zhafîry hafizhahullâh yang sering mendampingi Syaikh Rabî’ hafizhahullâh, memberi persaksian yang patut diperhatikan. Beliau berkata,
“Sungguh Saya telah mendengar dengan dua telingaku (sendiri) bahwa Syaikh Ibnu Bâz rahimahullâh berbicara kepada Syaikh Rabî’ dengan berkata, ‘Wahai Syaikh Rabî’, bantahlah siapa saja yang bersalah. Kalau seandainya Ibnu Bâz bersalah, bantahlah dia. Jika seandainya Ibnu Ibrahim bersalah, bantalah dia.’ Kemudian (Syaikh Ibnu Bâz) memuji (Syaikh Rabî’) dengan pujian yang harum. Allah-lah Yang Maha menyaksikan ucapanku.”[9]
Adapun Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh, beliau pernah ditanya, “Apa nasihat Anda terhadap siapa saja yang melarang (untuk mendengarkan) kaset-kaset Syaikh Rabî’ dengan alasan bahwa (kaset-kaset beliau) menimbulkan fitnah dan memuji para pemerintah di Kerajaan (Saudi), serta bahwa pujian (Syaikh Rabî’) kepada para pemerintah adalah kemunafikan?”
Maka beliau menjawab,
Adapun Syaikh Al-Albâny rahimahullâh, beliau telah berkata,
Demikianlah sedikit ucapan tiga imam dakwah Salafiyah pada masa ini tentang Syaikh Rabî’, dan banyak ucapan mereka yang lainnya.
Saya yakin bahwa tiga imam Ahlus Sunnah tersebut tidak memuji Syaikh Rabî’ hafizhahullâh dengan menganggap bahwa beliau ma’shum dan tidak mungkin jatuh dalam kesalahan. Akan tetapi, demikianlah keadilan dan pembelaan tiga imam Ahlus Sunnah kepada Syaikh Rabî’, yang gigih membela kebenaran dan agama Allah Ta’âlâ.
Ketiga, masih banyak ulama besar lain yang memuji manhaj, aqidah, dan dakwah Syaikh Rabî’, seperti Syaikh Shalih Al-Fauzân, Syaikh Shalih Al-Luhaidan, Syaikh Abdul Aziz Âlu Asy-Syaikh, Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbâd, Syaikh Muqbil Al-Wâdi’iy, Syaikh Ahmad An-Najmy, Syaikh Muhammad As-Subayyil, Syaikh Zaid Al-Madkhaly, Syaikh Ali Nâshir Al-Faqîhy, Syaikh ‘Ubaid Al-Jâbiry, Syaikh Shalih As-Suhaimy, Syaikh Abdul Aziz Ar-Râjihy dan selainnya -semoga Allah merahmati yang telah meninggal dan menjaga yang masih hidup-. Mungkin panjang bila disebutkan semua ulama tersebut.
Poin ini dan poin sebelumnya menunjukkan bahwa bukanlah hal aneh jika Salafiyyin di Indonesia maupun di negara lain menghargai kedudukan Syaikh Rabî’ hafizhahullâh dan mempercayai bantahan-bantahan beliau, yang dibangun di atas dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah disertai jejak para Salaf.
Juga, bukanlah celaan bagi Salafiyyin untuk menyebarkan pujian para ulama kepada Syaikh Rabî’ hafizhahullâh karena memang hal tersebut diridhai oleh para ulama sebagai pertolongan kepada kebenaran yang Syaikh Rabî’ dakwahkan.
Oleh karena itu, Saya bersyukur kepada Allah Ta’âlâ akan Ustadz Luqman Ba’abduh, Ustadz Askary, dan Ustadz Ruwaifi’ hafizhahumullâh yang telah menulis pujian ulama kepada Syaikh Rabî’ sebagai bantahan terhadap Ustadz Firanda. Demikian pula asatidzah Salafiyyin di berbagai penjuru tanah air, yang sudah merupakan kebiasaan mereka untuk membela para ulama dalam pelajaran maupun tulisan mereka. Semoga Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menjadikan hal tersebut sebagai timbangan kebaikan mereka semua pada hari kiamat.
Keempat, bantahan Kami terhadap Syaikh Ali Hasan Al-Halaby adalah berdasarkan fatwa-fatwa para ulama besar yang menjelaskan penyimpangan dan kesesatan Syaikh Ali Hasan. Demikian pula Salafiyyin di Indonesia, semenjak dahulu men-tahdzir Ustadz Yazid, Ustadz Ainul Rafiq, Ustadz Abu Nida dan selainnya dengan dalil dan didukung oleh fatwa-fatwa ulama besar yang mu’tabar, yaitu Syaikh Muqbil, Syaikh Rabî, Syaikh ‘Ubaid Al-Jâbiry, dan selainnya. Demikian pula tahdzir terhadap Rodja dari Syaikh Rabî’ dan Syaikh ‘Ubaid Al-Jâbiry.
Berbeda dengan Ustadz Firanda, siapa yang mendahuluinya dalam tuduhan-tuduhan kejinya, khususnya dalam masalah bahwa Syaikh Rabî’ berpemahaman Khawarij dan berdusta terhadap Salaf!?
Semoga Allah mengampuni Ustadz Firanda dan mengembalikannya ke jalan yang lurus.
Di antara bentuk keindahan adalah jika seseorang mengetahui kadar dirinya dan tidak berbicara, kecuali dalam hal yang dia layak berbicara di dalamnya. Salah satu pelajaran yang indah di kalangan Salaf adalah bahwa Imam As-Sya’by rahimahullâh dikenal dengan keilmuan yang luas, bahkan telah ditanyai oleh manusia tatkala masih banyak shahabat yang hidup. Akan tetapi, seiring dengan hal itu, beliau diam ketika ada orang yang lebih berhak berbicara, yaitu Imam Ibrahim bin Yazîd An-Nakha’iy rahimahullâh. Humaid bin Al-Aswad bercerita ketika Ibrahim dan Asy-Sya’by disebut di sisi Ibnu ‘Aun. Ibnu ‘Aun berkata,
Tuduhan Kedua
Ustadz Firanda berkata,
“Manhaj Syaikh Rabî’ Al-Madkhalî Yang Mutasyaddid (keras)
Syaikh Rabî’ adalah manusia biasa yang tidak ma’shûm, bisa salah dan bisa benar. Beliau dikritisi oleh para ulama dalam beberapa hal, terutama tentang sikap beliau yang terlampau keras di dalam membantah. Diantara ulama yang mengkritik beliau adalah Syaikh Al-Albânî rahimahullâh. Berikut ini adalah dialog antara Syaikh Al-Albânî dengan seseorang yang bersikeras membela Syaikh Rabî’ dan menolak anggapan bahwa syaikh Rabî’ adalah mutasyaddid. Akan tetapi, Syaikh Al-Albânî ternyata bersikeras menyatakan bahwa Syaikh Rabî’ mutasyaddid.”[13]
Tanggapan
Saya menanggapi tuduhan tersebut dengan beberapa penjelasan berikut.
Pertama, ada perbedaan antara nash ucapan Syaikh Al-Albâny dan kalimat Ustadz Firanda terhadap ucapan Syaikh. Ternyata, Syaikh Al-Albâny rahimahullâh berkata -sebagaimana nukilan dan terjemahan Ustadz Firanda, “Syaikh Al-Albânî : “Di semua kitabnya (Syaikh Rabî’) ada sikap syiddah (keras) !!”.”[14], sedangkan Ustadz Firanda mengatakan bahwa Syaikh Al-Albâny menyebut mutasyaddid.
Tentulah berbeda antara fîhi syiddah ‘padanya ada sikap keras’ dan mutasyaddid ‘bersikap keras’. Dimaklumi bahwa kalimat Syaikh Al-Albâny maknanya lebih ringan daripada kalimat Ustadz Firanda.
Agar lebih jelas, keterangan dalam buku-buku Al-Jarh wa At-Ta’dîl membedakan antara frasa fîhi dha’f ‘padanya ada kelemahan’ dan kata dha’îf ‘lemah’. Juga dibedakan antara frasa fîhi nakârah ‘padanya ada bentuk kemungkaran’ dan kata mungkar. Demikian pula berbeda antara frasa fîhi kadzib ‘padanya ada kedustaan’ dan kata kâdzib/kadzdzâb ‘pendusta’. Bentuk pertama adalah lebih ringan daripada bentuk kedua.
Banyak lagi contoh lain dalam buku Al-Jarh wa At-Ta’dîl tentang perbedaan tersebut.
Tatkala menisbahkan suatu ucapan kepada seorang alim, seseorang hendaknya mendetailkan lafazhnya dan berhati-hati dalam pendetailan tersebut agar tidak dituduh berdusta terhadap ulama.
Kedua, dari tautan rujukan yang Ustadz Firanda berikan, dialog dengan Syaikh Al-Albâny sangatlah panjang, dan ternyata Syaikh Al-Albâny menyifatkan syiddah kepada Syaikh Rabî’ dalam hal uslub dakwah Syaikh Rabî’, bukan dalam manhaj Syaikh Rabî’. Ini tentu berbeda dengan Ustadz Firanda sebagaimana pada judul pembahasannya “Manhaj Syaikh Rabî’ Al-Madkhalî Yang Mutasyaddid (keras)”.
Syaikh Al-Albâny sendiri telah memuji manhaj Syaikh Rabî’ sebagaimana keterangan yang telah berlalu, dengan ucapan beliau,
Syaikh Al-Albâny rahimahullâh berkata pula,
Dua ucapan Syaikh Al-Albâny di atas, yang mendukung isi rekaman dialog yang Ustadz Firanda sebutkan, sangatlah jelas membuktikan kedustaan Ustadz Firanda dalam menisbahkan kepada Syaikh Al-Albâny bahwa Syaikh Al-Albâny menganggap manhaj Syaikh Rabî’ adalah mutasyaddid.
Ketiga, pendapat Syaikh Al-Albâny rahimahullâh -andaikata beliau belum rujuk dari ucapan tersebut- merupakan sudut pandang beliau yang berbeda dengan beberapa ulama besar lainnya.
Seiring dengan pengagungan dan penghormatan Kami kepada Syaikh Al-Albâny, Kami juga mengagungkan dan menghormati ulama besar lainnya yang memuji uslub Syaikh Rabî’ dalam membantah.
Di antara ulama yang memuji adalah guru kami, Syaikh Shâlih Al-Fauzân hafizhahullâh, dalam kata pengantar beliau terhadap buku Syaikh Rabî’ yang membantah Hasan bin Farhân Al-Mâliky,
Demikian pula guru kami, Syaikh Ahmad An-Najmy rahimahullâh. Dalam kata pengantar beliau terhadap buku Jamâ’ah Wâhidah, Lâ Jamâ’ât, beliau menyifatkan bantahan Syaikh Rabî’ dengan “uslub yang adil”[18].
Selain itu, Syaikh Ali bin Nâshir Al-Faqîhy hafizhahullâh, dalam kata pengantar beliau terhadap buku Jamâ’ah Wâhidah, Lâ Jamâ’ât, menyifatkan bantahan Syaikh Rabî’ sebagai,
Keempat, apakah syiddah ‘sikap keras’ adalah hal tercela?
Allah menjelaskan tentang kelemah-lembutan Nabi-Nya shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam firman-Nya,
Tentang sikap keras, Allah memerintah Nabi-Nya shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam firman-Nya,
“Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, serta bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah Jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” [At-Taubah: 73]
Masih ada sejumlah ayat yang semakna dengan dua ayat di atas, yang menunjukkan bahwa sikap lemah-lembut dan sikap keras adalah dua sikap yang terpuji apabila ditempatkan pada tempat yang sesuai dengan maksud pensyariatan. Itulah yang disebut dengan sikap hikmah dengan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.
Dalam kisah ketidakhadiran Ka’b bin Mâlik dalam perang Tabûk dalam riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, terdapat pelajaran berharga dalam sikap keras ini. Ketika telah duduk di Tabûk, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang Ka’b bin Malik lakukan?” Seorang lelaki dari Bani Salimah berkata, “Dia telah ditahan oleh kedua pakaiannya, dan melihat kepada tubuhnya.”
Sungguh ucapan keras yang menganggap bahwa Ka’b bin Mâlik tidak ikut berjihad karena lebih senang dengan diri dan pakaiannya. Maka Mu’âdz bin Jabal radhiyallâhu ‘anhu membantah ucapan tersebut dengan keras pula. Beliau berkata, “Sejelek-jelek ucapan adalah ucapanmu. Wahai Rasulullah, Kami tidaklah mengetahui tentang (Ka’b) kecuali kebaikan.”
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam hanya terdiam mendengar ucapan dua shahabat tersebut dan tidak menyalahkan salah satu dari keduanya.
Selain itu, dalam kisah para tawanan perang Badr. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam meminta pertimbangan kepada Abu Bakr dan Umar radhiyallâhu ‘anhumâ dengan berucap,
Abu Bakr radhiyallâhu ‘anhu dengan kelembutannya berkata,
Adapun Umar radhiyallâhu ‘anhu dengan sikap tegasnya beliau berkata,
Perhatikanlah dua sikap yang berbeda jauh tersebut. Namun, tatkala alasan setiap sikap adalah benar dan sejalan dengan nilai-nilai syariat, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengingkari salah satu dari keduanya. Memang, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam condong kepada pendapat Abu Bakr radhiyallâhu ‘anhu. Namun, setelah itu, tampaklah kebenaran pendapat Umar radhiyallâhu ‘anhu.[20]
Termasuk hikmah dan pelajaran, Abu Bakr -dengan kelemah-lembutan- sangatlah keras pada kejadian memerangi orang-orang yang menahan zakat, sedangkan Umar berpendapat untuk tidak memerangi mereka pada waktu itu.
Demikian pula, dengan sikap kerasnya, Umar tidak menghalangi dirinya untuk diam tatkala ada yang mengingatkan dan menasihatinya, serta dimaklumi tentang kelembutan beliau dalam mengurus kaum muslimin pada masa pemerintahannya.
Sebenarnya, banyak dalil yang perlu dipaparkan dalam pembahasan ini. Akan tetapi, insya Allah, penjelasan Saya di atas cukuplah sebagai simpulan bahwa sikap keras bukanlah hal tercela secara mutlak dalam agama, bahkan merupakan hal yang diperlukan, dan bisa menjadi wajib pada sebagian keadaan.
Banyak orang yang tidak mengetahui sikap lembut guru kami, Syaikh Rabî’ hafizhahullâh, kepada orang-orang yang mengunjungi beliau dari kalangan orang awam, penuntut ilmu, bahkan dari kalangan orang-orang yang telah menyimpang dari jalan yang lurus.
Saya pernah melihat seorang Syaikh dari Riyâdh yang mengunjungi Syaikh Rabî’ di rumah Syaikh Rabî’ di Makkah. Syaikh tersebut datang bersama seorang Syaikh lain dan seorang kerabatnya yang masih awam. Dalam perjalanan pulang ke Riyadh, Syaikh tersebut bertanya kepada kerabatnya yang masih awam dan belum mengenal Syaikh Rabî’ -pada saat itu si kerabat datang dalam keadaan masih isbal dan potong janggut-, “Bagaimana pendapatmu tentang Syaikh Rabî’ yang Kita jumpai tadi?” Si kerabat menjawab, “Masya Allah, (beliau adalah) orang yang sangat penyayang dan baik.” Tatkala Syaikh dari Riyâdh tersebut menyebut bahwa Syaikh Rabî’ banyak dimusuhi oleh orang-orang yang berada di Riyâdh, si kerabat itupun berucap keheranan, “Kok bisa orang sebaik itu dimusuhi?”
Itulah sepenggal cerita bagi siapa saja yang tidak mengenal guru kami, Syaikh Rabî’ bin Hâdy Al-Madkhaly. Semoga Allah selalu menjaga beliau dan memanjangkan umur beliau dalam ketaatan dan hal yang bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin.
Kelima, tercelakah syiddah ‘sikap keras’ terhadap ahlul bid’ah?
Saya akan menyebutkan kesepakatan ulama tentang membenci ahlul bid’ah dalam menjawab tuduhan ketiga Ustadz Firanda.
Saya akan menyebutkan pula beberapa ucapan dan sikap keras para Salaf terhadap ahlul bid’ah dalam pembahasan “Mengupas Pemikiran Ustadz Firanda Seputar Hajr, Tahdzir, dan Menyikapi Kesalahan”.
Berikut beberapa contoh nama ulama yang dipandang memiliki sikap keras. Kami menyebut sepuluh nama saja[21]:
1. Ibnu ‘Abbâs dan para shahabat radhiyallâhu ‘anhum. Ibnul Qayyim berkata, “Adalah Ibnu ‘Abbâs syadîd ‘keras’ terhadap orang-orang Qadariyah. Demikian pula para shahabat.”[22]
2. Hammad bin Salamah Al-Bashry rahimahullâh (w. 167 H). Imam Ahmad rahimahullâh berkata tentang beliau, “Apabila Engkau melihat seseorang mencela Hammad bin Salamah, curigailah (bahwa)orang itu (menghendaki kejelekan) terhadap Islam. Sesungguhnya beliau adalah orang yang syadîd ‘keras’ terhadap ahlul bid’ah.”[23]
3. Bilâl bin Abi Burdah hafizhahullâh (w. 120-an H). Mujâhid rahimahullâh berkata, “… Adalah Bilâl bin Abi Burdah syadîd ‘keras’ terhadap ahlul bid’ah ….”[24]
4. Syarîk bin Abdillah An-Nakha’iy rahimahullâh (w. 177 H). Imam Ahmad berkata tentangnya, “Beliau adalah orang yang berakal, shadûq ‘jujur’, muhaddits. Beliau syadîd ‘keras’ terhadap penganut keraguan dan bid’ah.”[25]
5, 6. Abdurrahman bin Hurmuz Al-A’raj (w. 117 H) dan Abdurrahman bin Al-Qâsim rahimahumallâh (w. 126 H). Imam Malik rahimahullâh berkata tentang beliau berdua, “Adalah Ibnu Hurmuz sedikit berbicara dan keras terhadap ahlul bid’ah, dan beliau adalah manusia yang paling mengetahui perselisihan mereka dalam hal tersebut. Demikian pula Abdurrahman bin Al-Qâsim.”[26]
7. Muhammad bin Idrîs Asy-Syâfi’iy rahimahullâh (w. 204 H). Al-Baihaqy rahimahullâh berkata tentang beliau, “Adalah Asy-Syâfi’iy -semoga Allah meridhainya- syadîd ‘keras’ terhadap ahlul ilhâd dan ahlul bid’ah, serta terang-terangan dalam membenci dan meng-hajr mereka.”[27]
8. Umar bin Hârûn Al-Balkhy rahimahullâh (w. 194 H). Imam Qutaibah rahimahullâh berkata, “Adalah Umar bin Hârûn syadîd ‘keras’ terhadap kaum Murji`ah. Beliau menyebut kejelekan-kejelekan dan petaka-petaka mereka.”[28]
9. Yusuf bin Yahya Al-Buthy rahimahullâh (w. 231 H), murid Imam Asy-Syâfi’iy rahimahullâh. Dalam biografinya disebutkan, “Beliau adalah syadîd ‘keras’ terhadap ahlul bid’ah.”[29]
10. Ismail bin Ishaq Al-Qâdhy rahimahullâh (w. 282 H). Dalam biografinya disebutkan, “Beliau syadîd ‘keras’ terhadap ahlul bid’ah dan memandang bahwa harus diambil taubat dari (ahlul bid’ah) sehingga mereka mencari perlindungan di Baghdad pada hari-hari (kehidupan mereka).”
Setelah penjelasan di atas, mari Kita melihat penerapan Ustadz Firanda dalam menuduh Syaikh Rabî’ mutasyaddid dalam manhaj-nya.
Tuduhan Ketiga
Ustadz Firanda Berkata,
“Menurut Syaikh Rabî’, Ahlul Bid’ah harus dibenci secara totalitas (100 persen).
Diantara sebab utama yang menjadikan Syaikh Rabî’ dikatakan mutasyaddid adalah, manhaj beliau yang menyatakan bahwa Ahlul Bid’ah harus dibenci secara totalitas. Manhaj beliau yang mudah di dalam membid’ahkan seseorang didukung lagi setelah itu harus dibenci 100 persen, hal inilah yang mengkarateristiki manhaj beliau sehingga menjadi “Mutasyaddid”!!!”[30]
Tanggapan
Terhadap tuduhan Ustadz Firanda ini, Saya perlu menjelaskan beberapa perkara:
Pertama, dalam seluruh pembahasan, dengan penuh keyakinan, Ustadz Firanda menganggap bahwa manhaj Syaikh Rabî’ adalah bahwa ahlul bid’ah harus dibenci secara totalitas (100 persen), padahal Syaikh Rabî’ tidak pernah mengucapkan hal tersebut.
Ucapan Syaikh Rabî’ hafizhahullâh yang menjadi bahan kritikan Ustadz Firanda berada dalam kitab beliau, ‘Aunul Bârî Bibayân Mâ Tadhammanahu Syarhus Sunnah Lil Imam Al-Barbahâry, cet. pertama 1432 H, pada jilid 2 halaman 978-981. Ustadz Firanda tidak langsung merujuk kepada buku Syaikh Rabî’, tetapi melalui link yang dia sebut dari situs www.sahab.net, tanpa menyebut dan menerjemahkan akhir dari jawaban Syaikh Rabî’.
Syaikh Rabî’ hanya ditanya,
“Apakah kecintaan dan kebencian bisa terhimpun pada seorang mubtadi’?”
Beliau menjawab,
Termasuk ke dalam kebencian adalah membenci kaum munafik dan kaum kafir dengan segala perbedaan ragam mereka. Termasuk (pula) ke dalam (kebencian tersebut), membenci ahlul bid’ah, karena mereka punya andil dalam menyelisihi Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah ‘alaihish shalâtu wassalâm. Masing-masing (dibenci) sesuai dengan kadar bid’ahnya. Mereka (ahlul bid’ah) juga memiliki bagian dalam hal menyepakati orang-orang kafir dan kaum munafik tentang penyimpangan-penyimpangan aqidah dan manhaj, sehingga mereka pun mengambil bagian dari kebencian tersebut.
Jika mengamati perkataan para Salaf dan meneliti kebanyakan buku-buku Sunnah, Kita tidaklah mendapati adanya pembagian tersebut, (yaitu) pembagian hati pada masalah ahlul bid’ah, (menjadi) mencintai dari satu sisi, dan membenci dari sisi (lain). Kita tidak mendapati hal tersebut. Tidaklah Kita mendapati para Salaf, kecuali motivasi untuk membenci dan meng-hajr. Bahkan, sejumlah imam telah menghikayatkan ijma’ (kesepakatan) dalam hal membenci, meng-hajr, dan memutus hubungan dengan (ahlul bid’ah).
Beberapa imam yang menghikayatkan hal itu, di antaranya adalah Al-Imam Al-Baghawy, penulis Syarhus Sunnah dan tafsir serta kitab-kitab lain yang bermanfaat. Beliau adalah salah seorang imam dari para imam Sunnah, dan besar kemungkinan bahwa beliau tergolong sebagai para pembaharu (mujaddidîn). Demikian juga dengan Imam Ash-Shâbûny, penulis kitab Syarh ‘Aqîdah As-Salaf Ashhâb Al-Hadîts, serta ulama lainnya. Mereka menghikayatkan adanya ijma’ (kesepakatan) membenci, meng-hajr, memutus hubungan dengan ahlul bid’ah. Ijma’ tersebut adalah dari para sahabat dan (ulama) setelah (para shahabat).”[31]
Jadi, Syaikh Rabî’ hafizhahullâh tidak mengatakan bahwa harus dibenci secara totalitas (100 persen), tetapi beliau hanya mengatakan, “Kita tidaklah mendapati adanya pembagian tersebut, (yaitu) pembagian hati pada masalah ahlul bid’ah, (menjadi) mencintai dari satu sisi, dan membenci dari sisi (lain).”
Ini adalah kedustaan jelas dari Ustadz Firanda terhadap Syaikh Rabî’. Tentunya sangat jauh perbedaan antara dua ibarat.
Kedua, kedustaan Ustadz Firanda terhadap Syaikh Rabî’, bahwa ahlul bid’ah harus dibenci secara totalitas (100 persen), mengharuskan sejumlah konsekuensi batil, yang ucapan dan perbuatan Syaikh Rabî’ sangat bertentangan dengan konsekuensi tersebut. Di antara konsekuensi itu adalah:
1. Keharusan membenci 100 persen ahlul bid’ah, tidak boleh ada cinta dan belas kasih sedikit pun.
2. Seluruh ahlul bid’ah, baik yang bid’ahnya mengafirkan maupun tidak, adalah sama dan “harus dibenci secara totalitas (100 persen)”, padahal Syaikh Rabî’ telah berkata, “Masing-masing (dibenci) sesuai dengan kadar bid’ahnya.”
3. Membenci kaum kuffar adalah sama seperti membenci ahlul bid’ah karena “harus dibenci secara totalitas (100 persen)”, padahal Syaikh Rabî’ sendiri berkata,
Ustadz Firanda memberi tautan yang mencantumkan jawaban Syaikh Rabî’ secara lengkap, tetapi Ustadz Firanda sendiri tidak menyebut dan tidak menerjemah nash di atas.
4. Ahlul bid’ah kedudukannya adalah sama dengan orang-orang kafir, “harus dibenci secara totalitas (100 persen)”, padahal Syaikh Rabî’ sendiri telah berkata pada akhir jawaban beliau yang tidak disebut dan tidak diterjemah oleh Ustadz Firanda,
5. Ahlul bid’ah tidak perlu dinasihati karena “harus dibenci secara totalitas (100 persen)”. Padahal, Syaikh Rabî’ menulis buku-buku bantahan tersebut untuk menasihati mereka yang dibantah. Bahkan, banyak di antara mereka -yang sudah dibantah- telah dinasihati oleh Syaikh Rabî’ selama beberapa tahun sebelum bantahan ditulis terhadap mereka.
6. Seorang Ahlus Sunnah yang dikenal membela dan menghormati Sunnah, apabila jatuh ke dalam suatu bid’ah yang disepakati, tidak perlu dinasihati dan segala kebaikannya harus digugurkan, karena “harus dibenci secara totalitas (100 persen)”. Padahal, dalam sejumlah tulisan beliau, Syaikh Rabî’ mengharuskan untuk sebelumnya menasihati dan menegakkan hujjah terhadap orang seperti itu. Bila tetap keras kepala, orang tersebut baru dianggap sebagai ahlul bid’ah.
7. Jika diserang oleh musuh dari kalangan kaum kuffar, ahlul bid’ah tidak perlu dibantu dan dibiarkan saja dibinasakan oleh kaum kafir, karena “harus dibenci secara totalitas (100 persen)”. Padahal, Syaikh Rabî’ berkata pada akhir jawaban beliau yang juga tidak disebut dan diterjemah oleh Ustadz Firanda,
8. Ustadz Firanda sendiri menyebut sebuah konsekuensi batil dengan ucapannya, “Kedelapan : Kelaziman dari manhaj yang keras ini, berarti terlalu banyak orang yang harus kita benci secara total, diantaranya banyak dari keluarga kita !!. Bukankah masih banyak keluarga dekat para ikhwah yang gemar mentahdzîr tersebut yang belum salafy?? Bahkan bisa jadi ayah dan ibu mereka belum salafy?? Sehingga seharusnya tidak boleh dicintai sedikitpun tapi harus dibenci secara total !!. Mampukah para pengikut Syaikh Robi’ menerapkan manhaj ini kepada keluarganya?!”[35]
Banyak lagi konsekuensi batil yang bisa dimunculkan dari kedustaan Ustadz Firanda terhadap Syaikh Rabî’, padahal Syaikh Rabî’ sendiri telah menegaskan hal yang sebaliknya.
Ketiga, di antara “kamus” kedustaan Ustadz Firanda -semoga Allah mengampuninya dan membimbingnya ke jalan yang lurus- terhadap Syaikh Rabî’ adalah simpulan dia, “Kesembilan : Pada akhirnya, manhaj yang mengharuskan membenci ahlul bid’ah (yang masih muslim) 100% ini adalah sama dengan manhaj yang mengharuskan membenci pelaku maksiat (yang masih muslim) 100%…, dan ini adalah manhajnya khawarij sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh. Allahul Musta’ân.”[36]
Memang simpulan yang aneh, padahal Ustadz Firanda sendiri telah berkata, “Bukankah syaikh Rabî’ sepakat dengan Ibnu Taimiyyah dan para ulama Kibâr bahwasanya pembagian cinta dan benci ini berlaku pada pelaku maksiat?? Ataukah syaikh Rabî’ juga memandang harus membenci pelaku maksiat secara total?? saya rasa Syaikh Rabî’ tidak akan berpendapat demikian.”[37]
Untuk keluar dari kedustaan Ustadz Firanda, Kita cukup memegang ucapan Syaikh Rabî’ hafizhahullâh yang membatasi pembahasan beliau pada ahlul bid’ah saja. Syaikh Rabî’ berkata, “… Kita tidaklah mendapati adanya pembagian tersebut, (yaitu) pembagian hati pada masalah ahlul bid’ah, (menjadi) mencintai dari satu sisi, dan membenci dari sisi (lain).”[38]
Keempat, dasar kesalahan Ustadz Firanda sehingga Ustadz Firanda jatuh ke dalam berbagai kedustaan terhadap Syaikh Rabî’ adalah keliru dalam memahami maksud Syaikh Rabî’.
Ketika menjelaskan bahwa beliau tidak berpendapat tentang pembagian hati pada masalah ahlul bid’ah, (menjadi) mencintai dari satu sisi, dan membenci dari sisi (lain), Syaikh Rabî’ hafizhahullâh membangun pendapatnya di atas dua kaidah penting dalam memahami aqidah yang benar:
Kaidah pertama, terikat dengan bahasa dan lafazh yang para Salaf gunakan.
Syaikh Rabî’ hafizhahullâh berkata, “Tidaklah kita dapati para Salaf, kecuali motivasi untuk membenci dan meng-hajr. Bahkan, sejumlah imam telah menghikayatkan ijma’ (kesepakatan) dalam membenci, meng-hajr, dan memutus hubungan dengan (ahlul bid’ah). Beberapa imam yang menghikayatkannya, di antaranya adalah Al-Imam Al-Baghawy … Demikian juga dengan Imam Ash-Shâbûny, penulis kitab Syarh ‘Aqîdah As-Salaf Ashhâb Al-Hadîts, serta ulama lainnya ….”
Imam Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawy rahimahullâh (w. 516 H) berkata,
Imam Abu Utsman Ismail bin Abdurrahman Ash-Shâbûny rahimahullâh (w. 449 H) berkata,
Syaikh Rabî’ juga menyebut nukilan ijma’ dari Al-Auzâ’iy, Abdurrahman bin Abiz Zinâd, Al-Fudhail bin ‘Iyâdh, Ahmad bin Hanbal, dan Ismail bin Yahya Al-Muzany rahimahumullâh sebagaimana dalam buku beliau, Intiqâd ‘Aqady Wa Manhajy ‘Alâ Kitâb As-Sirâj Al-Wahhâj hal. 11.
Dalam kitab Ijmâ’ul Ulamâ` ‘Alâ Al-Hajr wa At-Tahdzîr Min Ahlil Ahwâ` karya Syaikh Khâlid Azh-Zhafiry hafizhahullâh, disebutkan pula belasan nukilan ijma’ lainnya.
Sisi pendalilan dari nukilan ijma’ tersebut sangatlah jelas, bahwa kecintaan kepada ahlul bid’ah tidak disebut sama sekali, bahkan hanya disebut membenci, memusuhi, meng-hajr, dan semisalnya.
Imam Ahmad rahimahullâh berkata tentang Yazid bin Mu’âwiyah,
Ibnu Taimiyah rahimahullâh sendiri berkata tentang Yazîd bin Mu’âwiyah,
Pada akhir biografi ‘Ubaidullah bin Ziyâd, Imam Adz-Dzahaby rahimahullâh berkata,
Selain itu, dalam biografi Al-Hajjâj bin Yusuf, Imam Adz-Dzahaby rahimahullâh berkata,
Kaidah kedua, saddudz dzarî’ah, guna menutup segala pintu yang bisa mengantar kepada kerusakan aqidah.
Dimaklumi bahwa saddudz dzarî’ah adalah kaidah agung yang menjaga kesucian dan kemurnian agama ini, serta menutup segala pintu yang bisa mendatangkan bahaya atau menjatuhkan ke dalam pelanggaran syariat. Dalil-dalil untuk kaidah agung ini telah dimaklumi di kalangan ulama. Dalam kitabnya I’lâm Al-Muwaqqi’în, Ibnul Qayyim rahimahullâh menyebut 99 sisi pendalilan untuk kaidah agung ini.
Dalam jawabannya, Syaikh Rabî’ juga menjelaskan alasan,
Lebih diperjelas lagi oleh ucapan Syaikh Rabî’ dalam kritikan beliau terhadap Abul Hasan Al-Ma`riby,
Tampak sekali kelurusan pemahaman Syaikh Rabî’ dalam masalah di atas: untuk menutup pintu agar tidak dimanfaatkan oleh ahlul bid’ah dalam menggampangkan bid’ah dan ahlul bid’ah.
Sisi-sisi bahaya, yang mungkin bisa ditutup dengan sekadar mengikuti kesepakatan para Salaf untuk men-tahdzir dan membenci bid’ah tanpa membuka pintu kecintaan, adalah seperti:
1. Tidak membuka pintu untuk para ahlul bid’ah yang menjadikan manhaj muwâzanah (sebagai alat) guna membela bid’ah mereka dan membela ahlul bid’ah yang kesesatannya telah dijelaskan oleh para ulama. Pembahasan bid’ah manhaj muwâzanah ini akan Kami terangkan secara khusus dalam bantahan terhadap Ustadz Firanda.
2. Tidak meremehkan perkara bid’ah yang dianggap sangat besar dalam syariat dan di kalangan ulama Salaf.
3. Tidak mengganggu prinsip bahwa bid’ah adalah lebih besar daripada maksiat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah menjelaskan,
4. Tidak menyelisihi para Salaf yang menutup segala pintu yang mengantar kepada bid’ah.
Kelima, kembali Ustadz Firanda mengulangi makar dan igauannya dengan membenturkan ucapan Syaikh Rabî’ dengan perkataan ulama besar lainnya, padahal tidak ada ucapan Syaikh Rabî’ yang menyelisihi ulama besar lainnya.
Ustadz Firanda membenturkan Syaikh Rabî’ dengan Syaikh Ibnu Bâz. Padahal tidak ada hal yang bertentangan antara ucapan Syaikh Ibnu Bâz dan ucapan Syaikh Rabî’.
Ustadz Firanda menggarisbawahi Ucapan Syaikh Ibnu Bâz, “Dan hendaknya ia membenci mubtadi’ sesuai dengan kadar bid’ahnya selama bid’ahnya tidak sampai kepada bid’ah yang mengkafirkan pelakunya- dan (membenci) pelaku maksiat sesuai kadar maksiatnya dengan tetap mencintainya karena Allah sebatas Islamnya dan Imannya…”[47]
Sedangkan Syaikh Rabî’ telah mengatakan, “Masing-masing (dibenci) sesuai dengan kadar bid’ahnya.” Syaikh Rabî’ juga bukan orang yang mengafirkan pelaku bid’ah dan mengeluarkan pelaku bid’ah dari keimanan.
Sambil mencermati ucapan Syaikh Ibnu Bâz, “… Dan kita mencintainya karena Allah di atas kadar keislaman dan keimanannya,”[48] bahwa beliau berada pada posisi menjelaskan bahwa kecintaan dan kebencian bertingkat-tingkat.
Ustadz Firanda juga membenturkan perkataan Syaikh Rabî’ dengan perkataan Syaikh Shalih Al-Fauzân. Padahal, Syaikh Shalih Al-Fauzân hanya menyinggung pelaku maksiat, sedangkan Syaikh Rabî’ membahas tentang pelaku bid’ah.
Selain itu, Syaikh Rabî’ tidak mengatakan “dibenci dengan kebencian murni”, atau memakai bahasa Ustadz Firanda, “harus dibenci secara totalitas (100 persen)”. Syaikh Rabî’ hanya mengikuti lafazh para Salaf dan tidak membuka pintu kejelekan dengan menyebut kecintaan dalam pembahasan ahlul bid’ah.
Keenam, Ustadz Firanda menyimpulkan tentang manhaj dan kaidah yang benar menurutnya. Ustadz Firanda berkata, “Maka jadilah kaidah yang telah disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dan para ulama Kibâr bahwa : “Selama seseorang masih muslim -meskipun terjerumus dalam maksiat dan bid’ah yang bukan bid’ah yang mengkafirkan- maka orang tersebut masih punya hak untuk dicintai berdasarkan kadar islam dan keimanannya”.”[49]
Andaikata tuduhan Ustadz Firanda terhadap Syaikh Rabî’ adalah benar, di sini Ustadz Firanda telah jatuh pada kebalikan dari tuduhannya kepada Syaikh Rabî’. Ustadz Firanda hanya menyinggung “hak untuk dicintai berdasarkan kadar islam dan keimanannya”, dan tidak menyinggung kebencian terhadap ahlul bid’ah sama sekali.
Jadi, kalau disimpulkan, Ustadz Firanda menuduh Syaikh Rabî’ bahwa “ahlul bid’ah harus dibenci secara totalitas (100 persen)”, sedang sebaliknya, madzhab Ustadz Firanda adalah bahwa ahlul bid’ah hanya dicintai sesuai dengan kadar keislaman dan keimananya, tetapi tidak dibenci sama sekali.
Berdasarkan simpulan Ustadz Firanda di atas, sangat jelas bahwa Ustadz Firanda juga berdusta atas nama Ibnu Taimiyah dan ulama kibâr, bahkan Ustadz Firanda terjatuh ke dalam kesalahan lain, yaitu mencocoki madzhab Murji`ah.
Saya sendiri menyangka bahwa Ustadz Firanda tidak sengaja terjatuh ke dalam kesalahan tersebut, tetapi hal itu adalah konsekuensi tulisannya di atas yang tetap Kita wajib peringatkan.
Demikianlah keadaan orang yang sering menuduh ulama secara sembarangan dan dusta. Dia akan dipermalukan oleh Allah Ta’âlâ tanpa dia sadari.
Semoga Allah memberi hidayah kepada Ustadz Firanda.
Ketujuh, pada sela-sela pembahasan dan pendalilan Ustadz Firanda dalam tuduhan ketiga ini, terdapat sejumlah pendalilan yang aneh dan cacat dalam pemahaman, Saya sengaja tidak membahasnya karena enam poin yang telah berlalu sudah cukup menjelaskan hakikat dari tuduhan Ustadz Firanda. Juga, pada bagian pertama tulisan ini, Saya telah menerangkan sebagian bentuk kesamaran Ustadz Firanda dalam memahami pendalilan. Wallâhu Al-Musta’ân.
Tuduhan Keempat
Ustadz Firanda berkata, “Menurut Syaikh Rabî’ Menghajr Ahlul Bid’ah Tidak Perlu Memandang Kemaslahatan”[50]
Tanggapan
Untuk tuduhan yang aneh bin ajaib ini, Saya perlu menjelaskan beberapa perkara:
Pertama, memang sangatlah mengherankan keadaan Ustadz Firanda ini. Saya tidak tahu apa yang bergejolak dalam dirinya sehingga dengan mudah berdusta terhadap Syaikh Rabî’, padahal ucapan Syaikh Rabî’ sendiri sangat jelas membantah kedustaan Ustadz Firanda tersebut. Ustadz Firanda sendiri telah menyebutkan ucapan Syaikh Rabî’ dengan teks,
Perhatikanlah bagaimana Syaikh mengarahkan cara menimbang mashlahat dan mafsadat yang semestinya bagi seorang pemuda yang baru mengenal manhaj Salaf.
Yang lebih jelas dan lebih tegas lagi adalah bahwa Ustadz Firanda juga menyebutkan ucapan Syaikh Rabî’ dengan teks,
Setelah dua nash ucapan Syaikh Rabî’ di atas, sungguh aneh bin ajaib akan Ustadz Firanda yang terlalu berani berdusta atas nama Syaikh Rabî’ dengan mengatakan “Menurut Syaikh Rabî’ Menghajr Ahlul Bid’ah Tidak Perlu Memandang Kemaslahatan”.
Kedua, dari soal-jawab yang Ustadz Firanda sebutkan, tampak bahwa Syaikh Rabî’ memandang adanya pertimbangan mashlahat dan mafsadat dalam masalah hajr. Hanya saja, pertimbangan tersebut bukan untuk semua orang, melainkan untuk para ulama dan para penuntut ilmu yang ahli dalam hal tersebut. Nasihat dan kaidah ini berulang kali Kami dengar secara langsung dari Syaikh Rabî’ hafizhahullâh.
Dalam nasihat beliau tersebut, kembali kita memetik faedah tentang bagaimana para ulama terikat dengan kaidah-kaidah Salaf dan bagaimana para ulama menerapkan kaidah saddudz dzarî’ah.
Hal ini tergolong ke dalam kedetailan ilmu yang hanya ditemukan di majelis-mejelis para ulama.
Mirip dengan penerapan Syaikh Rabî’ di atas, keterangan yang Kami dengar dari guru Kami, Syaikh Shalih Al-Fauzân, bahwa, ketika ditanya tentang hukum berdoa di sisi kuburan, seseorang tidak pantas memberikan rincian yang para ulama jelaskan dalam buku-buku aqidah di depan khalayak umum, tetapi seseorang harus menegaskan bahwa amalan tersebut tidak boleh dan merupakan kesyirikan, agar tidak dibuka pintu bergampangan dalam aqidah kaum muslimin.
Memang, dalam majelis-majelis para ulama, terdapat pelajaran, hikmah, akal, keteguhan di atas kebenaran, kedetailan dalam berfatwa, pertimbangan mashlahat dan mafsadat, penempatan hukum dan kaidah-kaidah syariat yang sejalan dengan maqâshidusy syarî’ah ‘maksud-maksud pensyariatan’, dan hal-hal lain berupa berbagai ilmu yang sulit didapatkan di dalam kitab-kitab.
Oleh karena itu, pada sebagian pelajaran beliau, Syaikh Shalih Al-Fauzân hafizhahullâh pernah menasihatkan bahwa hajat para penuntut ilmu untuk hadir di masjid-masjid adalah lebih besar daripada hajat untuk hadir di bangku-bangku kuliah.
Keadaan inilah yang kita sayangkan terhadap banyak mahasiswa yang Allah beri anugerah untuk berkuliah di Arab Saudi, yaitu hilangnya keseriusan menghadiri majelis-majelis para ulama di masjid-masjid. Bahkan, banyak di antara mereka yang sudah menempuh pendidikan di dirâsât ‘ulyâ ‘pascasarjana’, tetapi jarang terlihat di majelis-majelis para ulama.
Semoga Allah memberi taufiq kepada Kita semua.
Ketiga, tentang ucapan Ustadz Firanda, “Menghajr ahlul bid’ah tidak perlu menimbang kemaslahatan, karena demikianlah praktek para salaf. Dan pernyataan Syaikh Robi’ ini adalah merupakan kedustaan terhadap salaf”[53]
Telah berlalu penjelasan tentang siapa sebenarnya yang berdusta.
Seharusnya, sebelum menjatuhkan tuduhan, Ustadz Firanda memeriksa dengan teliti dan berhati-hati, juga harus memastikan bahwa apakah ucapan orang tersebut memang salah atau tidak?
Abdurrahman bin Yahyâ Al-Mu’allimy rahimahullâh berkata,
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh menjelaskan salah satu etika nasihat kepada para ulama setelah memastikan kebenaran ucapan yang akan diingkari,
Kemudian, beliau memberikan dua tahapan lainnya, lalu memberi nasihat,
Setelah dicermati, Engkau akan menemukan bahwa si Alim mencocoki hadits, sedang (si pengkritik)lah yang menyelisihi (hadits).
Kebanyakan yang menimpa (para pengkritik) tersebut adalah kebanggaan terhadap diri-diri mereka. Sangkaan (para pengkritik) adalah bahwa mereka merupakan Ahlus Sunnah dan berada di atas jalan Salaf, padahal mereka adalah orang yang paling jauh dari jalan As-Salaf dan As-Sunnah.
Seseorang, apabila berbangga dengan dirinya -kita memohon keselamatan kepada Allah-, akan melihat orang lain bagaikan semut kecil. Berhati-hatilah terhadap hal ini.”[55]
Ucapan Syaikh Rabî’ sangatlah jelas dan terang. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah pemahaman Ustadz Firanda sebagaimana ucapan seorang penyair,
“Kebenaran adalah matahari, dan mata-mata bisa melihatnya
Akan tetapi matahari itu tertutupi terhadap orang-orang buta.”
Keempat, jasa dan usaha Syaikh Rabî’, dalam mengajak manusia kepada kebaikan dan membimbing orang-orang yang menyimpang kepada jalan yang benar, sangatlah banyak untuk disebutkan. Hal tersebut telah diketahui dan dimaklumi oleh para ulama dan para penuntut ilmu.
Sangatlah tidak masuk akal bila seorang alim yang jasanya sedemikian rupa, tetapi kemudian dikatakan “Menurut Syaikh Rabî’ Menghajr Ahlul Bid’ah Tidak Perlu Memandang Kemaslahatan”.
Dalam poin ini, seharusnya Saya menyebutkan contoh-contoh dari Syaikh Rabî’ dalam hal penggunaan mashlahat dalam mendakwahi ahlul bid’ah. Hal itu tentunya sangat banyak dalam buku-buku dan nasihat-nasihat beliau kepada Salafiyyin di berbagai penjuru dunia.
Silakan membaca buku beliau yang menakjubkan, Al-Hatsts ‘Alâ Al-Mawaddah Wa Al-I`tilâf Wa At-Tahdzir Min Al-Furqah Wa Al-Ikhtilâf, tentang kehikmahan dakwah beliau serta contoh penggunaan pertimbangan mashalat dan mafsadat dalam dakwah beliau ke Sudan.
Seluruh hikmah dan pertimbagan mashlahat dan mafsadat dari dakwah dan buku-buku Syaikh Rabî’ sangat bertentangan dengan berbagai konsekuensi batil dari tuduhan Ustadz Firanda.
Kelima, tentang sangkaan Ustadz Firanda dalam ucapannya, “Sekali lagi, Syaikh Rabî’ menyalahkan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh, dan menganggap pendapat Syaikhul Islam bertentangan dengan pendapat dan manhaj para salaf.”[56]
Syaikh Rabî’ tidak menyalahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, tidak pula menganggap bahwa pendapat Ibnu Taimiyah bertentangan dengan pendapat dan manhaj Salaf secara mutlak. Tidak dalam tuduhan keempat ini, tidak pula pada tuduhan ketiga yang bantahannya telah berlalu.
Syaikh Rabî’ hanya membatasi dan lebih mendetailkan dua masalah yang menjadi pembahasan. Bahkan, Syaikh Rabî’ sendiri telah berkata dalam pembahasan pertimbangan mashalahat dan mafsadat,
Keenam, setelah mengetahui maksud ucapan Syaikh Rabî’, juga telah mengetahui kekeliruan Ustadz Firanda dalam memahami maksud tersebut, akan jelas kesalahan Ustadz Firanda dalam seluruh cabang tuduhan yang dia bangun di atas pemahaman kelirunya, termasuk tuduhan bahwa Syaikh Rabî’ menyelisihi Syaikh Ibnu Bâz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan Syaikh Al-Albâny rahimahumullâh.
Dari uraian yang telah berlalu, sangat tampak bahwa Syaikh Rabî’ tidak berbeda dengan ulama lain dalam menimbang mashlahat dan mafsadat seputar hajr dan selainnya. Inti masalah sebenarnya adalah pemahaman Ustadz Firanda yang menyimpang dalam menyikapi Syaikh Rabî’. Sungguh benar tuturan Al-Mutanabbi rahimahullâh,
Tetapi kerusakan (yang sebenarnya) ada pada pemahaman yang sakit.”
Pada akhir pembahasan bagian kedua ini, Saya ingin mengingatkan ucapan Imam Ahmad tentang Hammâd bin Salamah Al-Bashry, “Apabila engkau melihat seseorang mencela Hammâd bin Salamah, curigailah (bahwa) orang itu (menghendaki kejelekan) terhadap Islam. Sesungguhnya beliau adalah seorang yang syadîd ‘keras’ terhadap ahlul bid’ah.”[57]
Demikian pula ucapan banyak imam yang membela siapa saja yang telah dimaklumi pembelaannya kepada Sunnah dan ketokohannya di tengah ulama dan kaum muslimin dengan mencurigai aqidah dan manhaj orang-orang yang mencela dan menuduh para ulama secara dusta.
Berulang kali Saya mendengar guru kami, ahli hadits Negeri Yaman: Muqbil bin Hâdy Al-Wâdi’iy rahimahullâh, berkata,
Tak lupa pula Saya mengingatkan kaidah agung yang guru Kami, Syaikh Shalih Al-Fauzân, sebutkan,
Semoga Allah mengampuni Ustadz Firanda dan membimbingnya kepada jalan yang lurus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar