بسم الله الرحمن الرحيم



Al-Qur’an Kalamullah Bukan Makhluk [Tanggapan atas Jawaban Seorang Doktor di Detik Ramadhan]

Penulis : Al-Ustadz Sofyan Chalid Ruray

Dalam sebuah tanya jawab di Detik Ramadan yang diasuh oleh seorang Doktor, ada sebuah pertanyaan:

Mohon penjelasan al-Qur’an termasuk makhluk atau kalam (Allah subhanahu wa ta’ala, pen)?

Sang Doktor menjawab:

Pertanyaan tersebut menjadi perdebatan yang panjang dalam sejarah Islam. Jawaban apapun yang kita pilih tetap saja akan menyisakan pertanyaan baru. Namun kami sependapat dengan pandangan ulama sunni yang menyebut sebagai makhluk. Wallahua’alam.

Tanggapan:

Pembaca yang budiman, menjawab sebuah pertanyaan dalam masalah agama dengan tanpa dasar ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah serta keterangan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah sebuah “keberanian”. Betapa tidak, Allah subhanahu wa ta’ala telah mengancam dalam Al-Qur’an dengan ancaman yang keras terhadap orang-orang yang berani berbicara tentang agama-Nya tanpa didasari ilmu. Allah ta’ala berfirman:

وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” [An-Nahl: 116]

Dan firman Allah ta’ala:

وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

“(Allah mengharamkan) kalian berkata atas Allah apa yang tidak kalian ketahui.” [Al-A’rof: 33]

Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan dalam tafsir beliau, “Makna firman Allah ta’ala, “(Allah mengharamkan) kalian berkata atas Allah apa yang tidak kalian ketahui”, mencakup pembicaraan tentang nama-nama Allah Ta’ala, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya dan syari’ah-Nya. Semua bentuk pembicaraan tanpa ilmu telah diharamkan oleh Allah Ta’ala. Dia melarang hamba-hamba-Nya untuk melakukan hal itu, karena dalam perbuatan tersebut terdapat kerusakan yang khusus maupun umum.”[1]

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga telah memperingatkan akan datangnya suatu zaman dimana ilmu bukan lagi menjadi sandaran dalam masalah agama, sehingga yang dijadikan rujukan adalah orang-orang jahil namun dianggap berilmu, pada akhirnya si jahil ini sesat dan menyesatkan orang lain. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا ، يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا ، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا ، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah tidaklah mengangkat ilmu itu dengan dicabut dari para hamba, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama, sampai tidak tersisa lagi seorang ‘alim, sehingga manusia mengangkat orang-orang jahil sebagai pemimpin. Orang-orang jahil ini kemudian ditanya, lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim][2]

Pembaca yang budiman, sesungguhnya Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat Al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluq, sebagaimana mereka juga sepakat, barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an makhluq maka dia kafir, tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini.

Sebelum kita lihat bagaimana keterangan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mari kita simak dulu firman Allah ta’ala berikut ini:

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّه

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah” [At-Taubah: 6]

Ayat ini dengan tegas mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah, demikianlah yang dijelaskan para ulama mufassirin.

Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari rahimahullah berkata:

عن السدي:(فأجره حتى يسمع كلام الله)، أما “كلام الله”، فالقرآن

“Dari As-Sudi tentang firman Allah, “lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah,” adapun makna kalam Allah adalah Al-Qur’an.”[3]

Al-Imam Ibnu Katsir Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

حتى يسمع كلام الله أي القرآن

“Firman Allah, “supaya ia sempat mendengar kalam Allah,” yakni Al-Qur’an.”[4]
Kesepakatan Ulama: Al-Qur’an adalah Kalamullah bukan Makhluk dan Kafirnya Orang yang Berpendapat Al-Qur’an Makhluk

Al-Imam Al-Baihaqi Asy-Syafi’i rahimahullah meriwayatkan ucapan Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah, dari pertanyaan muridnya Al-Qodhi Abu Yusuf rahimahullah, beliau berkata:

أن القرآن مخلوق أم لا ؟ فاتفق رأيه ورأيي على أن من قال : القرآن مخلوق ، فهو كافر

“Apakah Al-Qur’an makhluk atau bukan? Maka jawaban beliau sesuai dengan pendapatku bahwa siapa yang mengatakan “Al-Qur’an makhuk” maka dia kafir.”[5]

Al-Imam Al-Baihaqi Asy-Syafi’i rahimahullah meriwayatkan ucapan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah:

لما كلم الشافعي رضي الله عنه حفصا الفرد ، فقال حفص : القرآن مخلوق ، فقال له الشافعي : كفرت بالله العظيم

“Ketika Asy-Syafi’i radhiyallahu’anhu berbicara dengan Hafsh Al-Fard, dia berkata, “Al-Qur’an makhluk”, maka Asy-Syafi’i berkata kepadanya, engkau telah kafir kepada Allah Yang Maha Agung.[6]

Al-Imam Abu Hatim dan Abu Zur’ah rahimahumallah mengabarkan aqidah seluruh ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah di seluruh negeri yang mereka temui:

ومن زعم أن القرآن مخلوق فهو كافر بالله العظيم كفرا ينقل عن الملة ومن شك في كفره ممن يفهم فهو كافر ومن شك في كلام الله عز و جل فوقف شاكا فيه يقول لا أدري مخلوق أو غير مخلوق فهو جهمي ومن وقف في القرآن جاهلا علم وبدع ولم يكفر

“Barangsiapa yang menyangka Al-Qur’an makhluk maka dia kafir kepada Allah Yang Maha Agung dengan kekafiran yang mengeluarkan dari Islam, dan barangsiapa yang ragu dengan kekafirannya –dari orang yang sudah memahami masalah- maka dia juga kafir, dan barangsiapa ragu pada kalam Allah ‘Azza wa Jalla, lalu dia tidak menentukan sikap dalam keraguan dengan berkata, “Aku tidak tahu Al-Qur’an makhluk atau bukan,” maka dia seorang pengikut Jahmiyah, dan barangsiapa tidak menentukan sikap karena tidak tahu (bukan karena ragu), maka dia harus diajari, dibid’ahkan, dan tidak dikafirkan.”[7]

Al-Imam Al-Lalikai rahimahullah berkata:

أن القرآن كلام الله جل ثناؤه ولا اختلاف فيه بين أهل العلم ومن قال كلام الله مخلوق فقد كفر

“Bahwasannya Al-Qur’an adalah kalam Allah ‘Azza wa Jalla, tidak ada perbedaan pendapat anatara ulama dalam masalah ini, dan barangsiapa yang mengatakan kalam Allah adalah makhluk maka dia telah kafir.”[8]

Faidah Penting: Alhamdulillah telah jelas bahwa ulama sunni tidaklah berbeda pendapat, semuanya sepakat bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk dan barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an makhluk maka dia kafir. Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat tentang: Bolehkah mengatakan, “Bacaanku (pelafalanku) terhadap Al-Qur’an adalah makhluq”?

Untuk dapat memahami masalah ini maka perlu dirinci apakah yang dimaksud dalam ucapan, “Bacaanku (pelafalanku) terhadap Al-Qur’an adalah makhluq.” Sesungguhnya ucapan ini mengandung dua makna:

1) Al-Malfuzh (yang diucapkan atau dilafazkan), yaitu ayat-ayat Allah Ta’ala atau Al-Qur’an itu sendiri, maka makna ini sama dengan ucapan “Al-Qur’an makhluq,” inilah yang dimaksud oleh Jahmiyyah, yang telah disepakati ulama bahwa ucapan tersebut adalah kekafiran.

2) Talaffuzh al-insan (perbuatan manusia dalam melafazkan), di sinilah letak perbedaan pendapat ulama sunni, dan yang berpendapat seperti ini hanyalah segelintir ulama sunni, kebanyakan ulama mengatakan “Al-Qur’an kalamullah,” mereka membid’ahkan ucapan tersebut. Walaupun maknanya benar, namun kebanyakan ulama melarang ucapan tersebut karena dua alasan:

Pertama: Ucapan tersebut tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan sahabat, padahal mereka adalah Salaf yang hidup sebelum para ulama yang berpendapat demikian.

Kedua: Ucapan tersebut dapat mengantarkan kepada pendapat bid’ah “Al-Qur’an makhluk” yang telah disepakati ulama bahwa ucapan itu termasuk kekafiran, dan sudah dipamahi dalam kaidah syari’ah, sesuatu yang bisa mengantarkan kepada yang haram maka diharamkan.

Ketika mengomentari bid’ah yang dibuat oleh Al-Karabisi yang diingkari oleh Al-Imam Ahmad rahimahullah, Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata:

ولا ريب أن ما ابتدعه الكرابيسي، وحرره في مسألة التلفظ، وأنه مخلوق هو حق، لكن أباه الامام أحمد لئلا يتذرع به إلى القول بخلق القرآن، فسد الباب، لانك لا تقدر أن تفرز التلفظ من الملفوظ الذي هو كلام الله إلا في ذهنك

“Tidak diragukan, bid’ah yang dilakukan Karabisi dan ditulisnya tentang pelafalan Al-Qur’an sebagai makhluk adalah benar, akan tetapi Al-Imam Ahmad menolaknya agar tidak mengantarkan pada pendapat ”Al-Qur’an makhluk,” beliau (Al-Imam Ahmad) menutup pintu (kepada bid’ah), karena engkau tidak dapat membedakan (kepada pendengarmu) antara at-talaffuzh (perbuatanmu dalam melafazkan) dan al-malfuzh (yang engkau lafazkan) yang merupakan kalamullah (bukan makhluk) kecuali dalam benakmu sendiri.”

Dan perlu dicermati, bahaya keyakinan bid’ah “Al-Qur’an makhluk” secara tidak langsung menganggap Allah ta’ala sebagai makhluk, sebab Al-Qur’an adalah kalamullah, dan kalamullah adalah sifat Allah. Demikian pula, keyakinan ini sama artinya dengan meyakini Al-Qur’an bisa benar dan bisa salah, sebab umumnya makhluk bisa benar dan bisa salah, pada akhirnya bisa direvisi dan bisa dterima atau ditolak. Sehingga orang yang berpendapat “Al-Qur’an makhluk” kemudian memiliki alasan untuk menyalahkan Al-Qur’an apabila bertentangan dengan akal mereka yang pendek. Wallahul Musta’an.

Tanggapan ringkas ini semoga dapat menjadi nasihat bagi kaum muslimin agar berhati-hati dari berbagai macam kesesatan yang tersebar di dunia maya.

[Disadur dari buku kami, Salafi, Antara Tuduhan dan Kenyataan, hal. 197-200 cet. ke-2]

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

[1] Tafsir As-Sa’di, hal. 283.

[2] HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 6971 dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu’anhuma

[3] Tafsir Ath-Tobari, 14/139, no. 16482.

[4] Tafsir Ibnu Katsir, 2/411.

[5] Al-Asma’ was Shifaat, 1/611, no. 551.

[6] Ibid, 1/611, no. 554.

[7] Syarhu I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah minal Kitab was Sunnah wa Ijma’ Ash-Shohabah, 1/178, no. 321.

[8] Ibid, 1/172 no. 319.

Tidak ada komentar: