Penulis: Al Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi
Setiap orang diberi fitrah oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala berupa kesucian (jiwa yang lurus). Ia akan mengawali kehidupannya dengan fitrah suci ini. Setelah itu bisa terjadi perubahan yang sangat cepat dan drastis tanpa bisa diduga arahnya. Para penyeru kerusakan fitrah ini jumlahnya sangat banyak sehingga jangan heran bila orang yang keluar dari jalur kesucian jiwa ini lebih banyak daripada yang istiqamah.
Lingkungan, teman, keluarga, masyarakat, dan pendidikan memiliki andil besar dalam hal ini. Media massa juga tidak kalah hebat memberikan andil terjadinya kerusakan tersebut. Keinginan untuk merubah diri (menjadi baik) telah hilang dari kebanyakan orang, sementara bola api yang ditendang oleh para penyeru kerusakan itu membakar di sana sini. Bila terkena percikannya akan menjadi abu yang siap ditiup angin, sementara hampir tidak ada orang yang tampil membantu dan membela karena orang yang ingin menolong pun tidak lepas pula dari mangsa bola api tersebut. Di saat kritis seperti inilah setiap insan sangat butuh kepada wahyu yang akan menyirami, menyejukkan dan memelihara dirinya. Setelah itu akan sangat jelas lagi siapa yang akan selamat di atas wahyu tersebut dan yang akan binasa selama-lamanya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
لِيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْ بَيِّنَةٍ وَيَحْياَ مَنْ حَيَّ عَنْ بَيِّنَةٍ
“Agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata pula.” (Al-Anfal: 42)
Jumat, 17 Juni 2011
Rabu, 15 Juni 2011
Ulama Al Jarh wa At Ta'dil, Sosok Penjaga dan Pembela Agama Allah
Penulis: Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari
Abu Ghalib berkata: “Ketika didatangkan kepala orang-orang Azariqah1 dan dipancangkan di atas tangga Damaskus, datanglah Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu 'anhu. Ketika melihat mereka, air matanya pun mengalir dari kedua pelupuknya.
كِلاَبُ النَّارِ، كِلاَبُ النَّارِ، كِلاَبُ النَّارِ. هَؤُلاَءِ شَرَّ قَتْلَى قُتِلُوْا تَحْتَ أَدِيْمِ السَّمَاءِ وَخَيْرَ قَتْلَى قُتِلُوا تَحْتَ أَدِيْمِ السَّمَاءِ الَّذِيْنَ قَتَلَهُمْ هَؤُلاَءِ
“Anjing-anjing neraka, anjing-anjing neraka, anjing-anjing neraka!” kata Abu Umamah. “Mereka ini sejelek-jelek orang yang dibunuh di bawah naungan langit ini. Dan sebaik-baik orang yang terbunuh di bawah naungan langit ini adalah orang-orang yang mereka bunuh,” lanjutnya.
Kata Abu Ghalib: “Ada apa denganmu hingga mengalir air matamu?”
“Karena kasihan terhadap mereka, dulunya mereka itu termasuk ahlul Islam,” jawab Abu Umamah.
Abu Ghalib berkata: Kami bertanya: “Apakah engkau mengatakan ‘mereka itu anjing-anjing neraka’ dengan pendapatmu sendiri atau perkataan yang engkau dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam?”
“Kalau aku mengatakan dengan pendapatku sendiri, maka sungguh betapa beraninya aku. Tapi perkataan seperti itu aku dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak hanya sekali, bahkan tidak hanya dua tiga kali,” jawab Abu Umamah.
Hadits di atas diriwayatkan Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya (5/253). Guru kami Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah setelah membawakan hadits ini, beliau berkata: “Hadits ini jayyid, Abu Ghalib adalah rawi yang hasanul hadits.” (Al Jami’ush Shahih, 1/201)
Abu Ghalib berkata: “Ketika didatangkan kepala orang-orang Azariqah1 dan dipancangkan di atas tangga Damaskus, datanglah Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu 'anhu. Ketika melihat mereka, air matanya pun mengalir dari kedua pelupuknya.
كِلاَبُ النَّارِ، كِلاَبُ النَّارِ، كِلاَبُ النَّارِ. هَؤُلاَءِ شَرَّ قَتْلَى قُتِلُوْا تَحْتَ أَدِيْمِ السَّمَاءِ وَخَيْرَ قَتْلَى قُتِلُوا تَحْتَ أَدِيْمِ السَّمَاءِ الَّذِيْنَ قَتَلَهُمْ هَؤُلاَءِ
“Anjing-anjing neraka, anjing-anjing neraka, anjing-anjing neraka!” kata Abu Umamah. “Mereka ini sejelek-jelek orang yang dibunuh di bawah naungan langit ini. Dan sebaik-baik orang yang terbunuh di bawah naungan langit ini adalah orang-orang yang mereka bunuh,” lanjutnya.
Kata Abu Ghalib: “Ada apa denganmu hingga mengalir air matamu?”
“Karena kasihan terhadap mereka, dulunya mereka itu termasuk ahlul Islam,” jawab Abu Umamah.
Abu Ghalib berkata: Kami bertanya: “Apakah engkau mengatakan ‘mereka itu anjing-anjing neraka’ dengan pendapatmu sendiri atau perkataan yang engkau dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam?”
“Kalau aku mengatakan dengan pendapatku sendiri, maka sungguh betapa beraninya aku. Tapi perkataan seperti itu aku dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak hanya sekali, bahkan tidak hanya dua tiga kali,” jawab Abu Umamah.
Hadits di atas diriwayatkan Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya (5/253). Guru kami Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah setelah membawakan hadits ini, beliau berkata: “Hadits ini jayyid, Abu Ghalib adalah rawi yang hasanul hadits.” (Al Jami’ush Shahih, 1/201)
Al Qur'an Berbicara tentang Al Jarh wa At Ta'dil
Penulis: Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi
يآ أَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنْ جآءَكُمْ فاَسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوْا أَنْ تُصِيْبُوْا قَوْماً بِجَهاَلَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلَى ماَ فَعَلْتُمْ ناَدِمِيْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal dengan perbuatan itu.” (Al-Hujurat: 6)
Penjelasan Ayat
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: “(Ayat ini) termasuk adab yang sepantasnya diamalkan bagi orang yang berakal. Yakni apabila ada seorang yang fasiq mengabarkan suatu berita agar mengecek (kebenaran) beritanya (terlebih dahulu), jangan begitu saja mengambilnya. Sebab yang demikian ini bisa menyebabkan bahaya besar dan menjatuhkan ke dalam dosa. Karena apabila beritanya disejajarkan dengan kedudukan berita seorang yang adil dan jujur, lalu menghukuminya berdasarkan konsekuensi (riwayat seorang adil), maka akan terjadi kerugian jiwa dan harta tanpa hak dengan sebab berita tersebut sehingga menyebabkan penyesalan. Yang wajib dalam menyikapi berita seorang yang fasiq adalah meneliti dan mencari kejelasan. Apabila ada penguat yang menunjukkan kebenarannya, maka diamalkan dan dibenarkan. Dan apabila (ada penguat) yang menunjukkan kedustaan, maka didustakan dan tidak diamalkan. Maka di dalamnya terdapat dalil tentang diterimanya berita seorang yang jujur dan berita pendusta adalah tertolak, sedangkan berita seorang yang fasiq disikapi tawaqquf (abstain) sebagaimana yang telah kita jelaskan. Oleh karenanya, para ulama salaf menerima banyak riwayat dari Khawarij yang dikenal kejujurannya, walaupun mereka termasuk orang-orang yang fasiq.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 800)
يآ أَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنْ جآءَكُمْ فاَسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوْا أَنْ تُصِيْبُوْا قَوْماً بِجَهاَلَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلَى ماَ فَعَلْتُمْ ناَدِمِيْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal dengan perbuatan itu.” (Al-Hujurat: 6)
Penjelasan Ayat
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: “(Ayat ini) termasuk adab yang sepantasnya diamalkan bagi orang yang berakal. Yakni apabila ada seorang yang fasiq mengabarkan suatu berita agar mengecek (kebenaran) beritanya (terlebih dahulu), jangan begitu saja mengambilnya. Sebab yang demikian ini bisa menyebabkan bahaya besar dan menjatuhkan ke dalam dosa. Karena apabila beritanya disejajarkan dengan kedudukan berita seorang yang adil dan jujur, lalu menghukuminya berdasarkan konsekuensi (riwayat seorang adil), maka akan terjadi kerugian jiwa dan harta tanpa hak dengan sebab berita tersebut sehingga menyebabkan penyesalan. Yang wajib dalam menyikapi berita seorang yang fasiq adalah meneliti dan mencari kejelasan. Apabila ada penguat yang menunjukkan kebenarannya, maka diamalkan dan dibenarkan. Dan apabila (ada penguat) yang menunjukkan kedustaan, maka didustakan dan tidak diamalkan. Maka di dalamnya terdapat dalil tentang diterimanya berita seorang yang jujur dan berita pendusta adalah tertolak, sedangkan berita seorang yang fasiq disikapi tawaqquf (abstain) sebagaimana yang telah kita jelaskan. Oleh karenanya, para ulama salaf menerima banyak riwayat dari Khawarij yang dikenal kejujurannya, walaupun mereka termasuk orang-orang yang fasiq.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 800)
Al Jarh wa At Ta'dil dalam Al Qur'an
Penulis: Al Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar
Al Qur`an sebagai wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala sarat dengan petunjuk dan bimbingan bagi kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mensifatkan Al Qur`an ini dengan sifat-sifat agung lagi mulia yang berlaku untuk seluruh ayatnya.
Sifat-sifat tersebut merupakan bukti terbesar bahwa Al Qur`an merupakan landasan utama bagi seluruh disiplin ilmu yang bermanfaat demi kebaikan dunia dan akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan bahwa Al Qur`an adalah Al-Huda (petunjuk), Ar-Rusyd (bimbingan, kelurusan) dan Al-Furqan1. Bahkan Al Qur`an itu sendiri adalah Al-Huda yang memberi petunjuk seluruh manusia kepada semua yang mereka butuhkan dalam urusan dunia dan agama mereka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
شَهْرُ رَمَضاَنَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّناَتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقاَنِ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (Al-Baqarah: 185)
Al Qur`an sebagai wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala sarat dengan petunjuk dan bimbingan bagi kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mensifatkan Al Qur`an ini dengan sifat-sifat agung lagi mulia yang berlaku untuk seluruh ayatnya.
Sifat-sifat tersebut merupakan bukti terbesar bahwa Al Qur`an merupakan landasan utama bagi seluruh disiplin ilmu yang bermanfaat demi kebaikan dunia dan akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan bahwa Al Qur`an adalah Al-Huda (petunjuk), Ar-Rusyd (bimbingan, kelurusan) dan Al-Furqan1. Bahkan Al Qur`an itu sendiri adalah Al-Huda yang memberi petunjuk seluruh manusia kepada semua yang mereka butuhkan dalam urusan dunia dan agama mereka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
شَهْرُ رَمَضاَنَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّناَتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقاَنِ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (Al-Baqarah: 185)
Ketika Nasehat Dianggap Celaan
Penulis: Al Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar
Sebenarnya, menyebut-nyebut seseorang dengan sesuatu yang tidak disukainya adalah haram. Yaitu jika semua itu hanya dilandasi keinginan untuk mencela, meremehkan, atau menjatuhkan.
Namun bila di dalam penyebutan tersebut terkandung manfaat atau maslahat yang besar, bagi kaum muslimin pada umumnya atau pada sebagian orang khususnya, maka penyebutan seperti ini bukanlah sesuatu yang haram, bahkan sangat dianjurkan. (Al-Farqu Bainan Nashihat wat Ta’yiir, Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah ketika mengomentari uraian Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menegaskan: “Bahkan hal itu wajib, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mewajibkan untuk memberi keterangan, bukan sekedar sunnah (anjuran) semata.” (An-Naqdu Manhajus Syar’i)
Sebagian kaum muslimin menganggap jarh (kritikan) terhadap suatu pemikiran, buku atau individu tertentu serta mentahdzirnya agar dijauhi dan ditinggalkan orang adalah perbuatan dzalim, tidak adil, dan tidak amanah. Demikian kata sebagian mereka.
Sebenarnya, menyebut-nyebut seseorang dengan sesuatu yang tidak disukainya adalah haram. Yaitu jika semua itu hanya dilandasi keinginan untuk mencela, meremehkan, atau menjatuhkan.
Namun bila di dalam penyebutan tersebut terkandung manfaat atau maslahat yang besar, bagi kaum muslimin pada umumnya atau pada sebagian orang khususnya, maka penyebutan seperti ini bukanlah sesuatu yang haram, bahkan sangat dianjurkan. (Al-Farqu Bainan Nashihat wat Ta’yiir, Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah ketika mengomentari uraian Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menegaskan: “Bahkan hal itu wajib, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mewajibkan untuk memberi keterangan, bukan sekedar sunnah (anjuran) semata.” (An-Naqdu Manhajus Syar’i)
Sebagian kaum muslimin menganggap jarh (kritikan) terhadap suatu pemikiran, buku atau individu tertentu serta mentahdzirnya agar dijauhi dan ditinggalkan orang adalah perbuatan dzalim, tidak adil, dan tidak amanah. Demikian kata sebagian mereka.
Kritik Terhadap Kebatilan dan Pelakunya
Penulis: Al Ustadz Ruwaifi' bin Sulaimi Al Atsari, Lc
Konsep persatuan dan rapatkan barisan, nampaknya menjadi konsep yang laker (laku keras) saat ini. Dengan ciri khas mengedepankan persatuan, tanpa mempermasalahkan latar belakang pemahaman agama masing-masing unsurnya, konsep ini terus bergulir. Slogan “Islam warna-warni” terus didengungkan, seiring dengan semakin merasuknya konsep batil ini di tengah umat Islam. Motto kelompok sesat Ikhwanul Muslimin “saling bantu-membantu dalam hal-hal yang disepakati bersama dan saling menghargai (tidak mempermasalahkan) perbedaan-perbedaan yang ada” pun turut meramaikan suasana. Tak peduli apakah perbedaan tersebut berkaitan dengan masalah prinsip ataukah tidak. Hingga sampailah pada klimaksnya di mana tidak boleh saling mengkritik kesalahan dan pelakunya meskipun kesalahan tersebut hakekatnya termasuk masalah prinsip dalam agama ini. Subhanallah, sedemikian sucikah kebatilan dan para pelakunya itu…?!
Kebatilan dan Pelakunya Pada Umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan bahwa setiap nabi mempunyai musuh dari jenis jin dan manusia yang selalu menentang mereka dan mengajak umat manusia kepada kebatilan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَكَذَالِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوْحِي بَعْضُهُمْ إِلَىبَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin. Sebagian dari mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia.” (Al-An’am: 112)
Konsep persatuan dan rapatkan barisan, nampaknya menjadi konsep yang laker (laku keras) saat ini. Dengan ciri khas mengedepankan persatuan, tanpa mempermasalahkan latar belakang pemahaman agama masing-masing unsurnya, konsep ini terus bergulir. Slogan “Islam warna-warni” terus didengungkan, seiring dengan semakin merasuknya konsep batil ini di tengah umat Islam. Motto kelompok sesat Ikhwanul Muslimin “saling bantu-membantu dalam hal-hal yang disepakati bersama dan saling menghargai (tidak mempermasalahkan) perbedaan-perbedaan yang ada” pun turut meramaikan suasana. Tak peduli apakah perbedaan tersebut berkaitan dengan masalah prinsip ataukah tidak. Hingga sampailah pada klimaksnya di mana tidak boleh saling mengkritik kesalahan dan pelakunya meskipun kesalahan tersebut hakekatnya termasuk masalah prinsip dalam agama ini. Subhanallah, sedemikian sucikah kebatilan dan para pelakunya itu…?!
Kebatilan dan Pelakunya Pada Umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan bahwa setiap nabi mempunyai musuh dari jenis jin dan manusia yang selalu menentang mereka dan mengajak umat manusia kepada kebatilan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَكَذَالِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوْحِي بَعْضُهُمْ إِلَىبَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin. Sebagian dari mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia.” (Al-An’am: 112)
Sururiyyah Musuh Ulama
Penulis: Al Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi
Sekilas bila seseorang memandang kepada penampilan dan dakwah Sururiyah, dia akan menyimpulkan bahwa dakwah ini adalah dakwah Ahlus Sunnah. Terlebih bila mendengar pengakuan mereka dengan mengangkat nama Ahlus Sunnah. Sungguh mereka jauh dari Ahlus Sunnah dan pengakuan mereka tidak lebih dari ungkapan penyair.
Setiap orang mengaku punya hubungan dengan Laila
Namun Laila mengingkari hal itu
Benarkah Sururiyah itu Ahlus Sunnah dan bagaimana sikap mereka terhadap ulama?
Sururiyah adalah bentuk penisbatan kepada Muhammad Surur Zainal Abidin, seseorang yang bermukim di Birmingham, Inggris setelah dia meninggalkan negeri Islam. Sururiyah memiliki manhaj (jalan) yang telah menyempal dari manhaj Ahlus Sunnah.
Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad mengatakan: “Tidak bisa dikatakan Quthbiyun (sebuah manhaj yang dikembangkan mengikuti pemikiran oleh Sayyid Quthub) dan Sururiyun sebagai Ahlus Sunnah karena banyak penyelewengan kedua kelompok ini dalam permasalahan-permasalahan yang sangat berbahaya, di antaranya memiliki manhaj takfir dengan tanpa ada dalil pembolehan sedikitpun baik secara akal maupun nash. Memiliki kesalahan yang sangat keji dan fatal yang terkait dengan perkara yang paling besar permasalahannya di dalam agama yaitu permasalahan i’tiqad dan mengumumkan perang yang dahsyat kepada Ahlus Sunnah baik sebagai rakyat atau pemerintah, dan mereka menuduh dan mencela dengan berbagai macam celaan. Sementara Ahlus Sunnah bara’ (berlepas diri) dari mereka.” (As-Siraj Al-Waqqad fil Bayan Tash-hih Al-I’tiqad hal. 100)
Sekilas bila seseorang memandang kepada penampilan dan dakwah Sururiyah, dia akan menyimpulkan bahwa dakwah ini adalah dakwah Ahlus Sunnah. Terlebih bila mendengar pengakuan mereka dengan mengangkat nama Ahlus Sunnah. Sungguh mereka jauh dari Ahlus Sunnah dan pengakuan mereka tidak lebih dari ungkapan penyair.
Setiap orang mengaku punya hubungan dengan Laila
Namun Laila mengingkari hal itu
Benarkah Sururiyah itu Ahlus Sunnah dan bagaimana sikap mereka terhadap ulama?
Sururiyah adalah bentuk penisbatan kepada Muhammad Surur Zainal Abidin, seseorang yang bermukim di Birmingham, Inggris setelah dia meninggalkan negeri Islam. Sururiyah memiliki manhaj (jalan) yang telah menyempal dari manhaj Ahlus Sunnah.
Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad mengatakan: “Tidak bisa dikatakan Quthbiyun (sebuah manhaj yang dikembangkan mengikuti pemikiran oleh Sayyid Quthub) dan Sururiyun sebagai Ahlus Sunnah karena banyak penyelewengan kedua kelompok ini dalam permasalahan-permasalahan yang sangat berbahaya, di antaranya memiliki manhaj takfir dengan tanpa ada dalil pembolehan sedikitpun baik secara akal maupun nash. Memiliki kesalahan yang sangat keji dan fatal yang terkait dengan perkara yang paling besar permasalahannya di dalam agama yaitu permasalahan i’tiqad dan mengumumkan perang yang dahsyat kepada Ahlus Sunnah baik sebagai rakyat atau pemerintah, dan mereka menuduh dan mencela dengan berbagai macam celaan. Sementara Ahlus Sunnah bara’ (berlepas diri) dari mereka.” (As-Siraj Al-Waqqad fil Bayan Tash-hih Al-I’tiqad hal. 100)