Selasa, 27 Juli 2010

Fatwa Syaikh Utsaimin Seputar Bulan Ramadhan

Penulis: Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin

1. Hukum Puasa Orang yang Sembuh dari Sakitnya

Tanya : Apabila seorang sembuh dari sakitnya yang mana dulu dokter menyatakan bahwa dia tidak mungkin bisa disembuhkan. Dan kesembuhannya ialah setelah berlalu beberapa hari dari bulan Ramadhan (maksudnya ketinggalan puasa beberapa hari karena sakit-red). Apakah ia diperintah (dituntut) untuk mengganti puasa hari yang lalu ketika dia sakit?

Jawab : Jika seseorang berbuka di bulan Ramadhan atau sebagian bulan Ramadhan dikarenakan sakit yang tidak diahrapkan lagi kesembuhannya, mungkin karena kebiasaan atau adanya pernyataan dari dokter yang dipercaya, maka yang wajib atasnya adalah memberi makan setiap harinya satu orang miskin. Jika ia sudah melakukan ini, lalu Allah takdirkan setelah itu dia sembuh dari sakitnya, maka tak wajib baginya untuk berpuasa karena telah memberi makan orang miskin tersebut, yang demikian itu karena tanggung jawabnya sudah lepas dengan dia memberi makan tersebut sebagai ganti dari puasa.

Awas !!! Perkara Pembatal Pahala Puasa Kita

Penulis: Al Ustadz Qomar ZA, Lc

Ramadhan bulan penuh berkah, rahmat, dan keutamaan adalah kesempatan emas bagi setiap muslim yang mendambakan ampunan Allah dan surga-Nya, yang mengharap jauhnya diri dari murka Allah dan siksaNya. Merupakan karunia Allah pada kita ketika Allah panjangkan umur kita sampai pada bulan mulia ini, karena dengan itu berarti Allah memberikan kepada kita peluang besar untuk menggapai maghfirah (ampunan) dan surga-Nya. Serta peluang bagi kita untuk berusaha menyelamatkan kita dari neraka-Nya, dimana pada bulan ini di setiap malamnya Allah membebaskan sekian banyak orang yang mestinya menghuni neraka.
Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
عن أبي هُرَيْرَةَ قال قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه... وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ من النَّارِ وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ
(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “...Dan Allah memiliki orang-orang yang yang dibebaskan dari neraka, dan itu pada tiap malam (Ramadhan)”. [Shahih, Hadits Riwayat Tirmidzi:682. Shahih Sunan Tirmidzi]
Dalam hadits lain seorang sahabat bernama Abu Umamah berkata kepada Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam:
يَا رَسُولَ اللهِ فَمُرْنِي بِعَمَلٍ أَدْخُلُ بِهِ الْجَنَّةَ قَالَ عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهُ
(artinya) : Wahai Rasulullah maka perintahkanlah kepadaku sebuah amalan yang aku akan masuk surga dengannya. Nabi menjawab: “Hendaknya kamu puasa, tidak ada yang seperti puasa”. [HR Ibnu Hibban. Lihat Mawarid Dhom’aan:1/232]

Seputar fiqh kewanitaan di bulan Ramadhan (2)

Penulis: Al-Ustadz Abu 'Abdillah Mustamin Musaruddin

I. HUKUM-HUKUM YANG BERHUBUNGAN DENGAN HAL-HAL YANG MERUSAK PUASA.

1. Dibolehkan bagi wanita yang berpuasa mencicipi makanan untuk mengetahui rasanya dan mengetahui panasnya untuk disuapkan pada bayinya, selama makanan tersebut tidak masuk ke dalam kerongkongannya (ditelan).

Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu : “Tidak mengapa baginya untuk mencicipi cuka atau sesuatu (makanan) selama tidak masuk kedalam kerongkongannya, dan dia dalam keadaan berpuasa”. Diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhary secara mu’allaq. (Fathul Bary 4/154 ) dan sanadnya disambungkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah di dalam Musnadnya (3/47).

2. Wanita yang sedang berpuasa diperbolehkan mencium suaminya atau untuk dicium oleh suaminya, jika keduanya yakin dapat menguasai diri untuk tidak sampai melakukan jima’ (hubungan intim).

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : “Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mencium istrinya dalam keadaan berpuasa dan menyentuh (tanpa hubungan intim) dalam keadaan puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menguasai diri (hajat) nya.

Seputar fiqh kewanitaan di bulan Ramadhan (1)

Penulis: Al-Ustadz Abu 'Abdillah Mustamin Musaruddin

1. Pendahuluan
Puasa pada bulan Ramadhan adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan dan merupakan salah satu rukun Islam dan bangunannya yang agung.

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa”. (Q.S.Al Baqarah : 183).

Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

بُنِيَ الْإِسْلاَمُ عَلىَ خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ.

“Islam itu dibangun atas lima perkara, syahadat Laa ilaaha illallah waa anna Muhammadan abduhu warasuluhu, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke Al-Bait (Ka’bah) dan puasa Ramadhan.” Muttafaqun ‘alaih.

Koreksi atas hadits terkait bulan Ramadhan (2)

Penulis: Al-ustadz Abu 'Abdirrahman Luqman Jamal

3. Hadits ketiga

لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ وَزَكَاةُ الْجَسَدِ الْصَوْمُ
“Segala sesuatu punya zakat dan zakat tubuh adalah puasa”

Hadits ini datang dari dua jalan :
Pertama : Dari jalan Musa bin ‘Ubaidah Ar-Rabadzy dari Jamham dari Abu Hurairah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf 3/7, Ibnu Majah no.1745, Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fii Du’afa`i Ar-Rijal 6/2336, dan Al-Qodho’iy dalam Musnadnya 1/162 no.229, Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman no. 3577.

Terdapat beberapa illat (cacat) dalam hadits ini :
Satu : Musa bin ‘Ubaidah Ar-Rabadzy, berkata Al-Bushiry dalam Mishbah Az-Zujajah : “Para ulama sepakat tentang lemahnya ia”.
Dua : Musa bin ‘Ubaidah telah mudhthorib (goncang) dalam meriwayatkan hadits ini, kadang-kadang ia meriwayatkannya secara marfu’ (bersambung kepada Nabi) seperti riwayat di atas, dan kadang-kadang ia meriwayatkannya secara mauquf (hanya sampai kepada shahabat) sebagaimana dalam riwayat Waqi’ bin Al-Jarrah dalam Az-Zuhd. Lihat : Silsilah Ahadits Adh-Dho’ifah 3/497.

Koreksi atas hadits terkait bulan Ramadhan (1)

Penulis: Al-ustadz Abu 'Abdirrahman Luqman Jamal

Bismillah...

Kami sering mendengar beberapa hadits yang disampaikan oleh penceramah di bulan Ramadhan diantaranya :
Satu : Hadits “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka”.
Kedua : Hadits “Berpuasalah niscaya kalian sehat”.
Ketiga : Hadits “Segala sesuatu ada zakatnya dan zakatnya tubuh adalah puasa”.
Keempat : Hadits “Apabila salah seorang dari kalian mendengar adzan dan bejana berada ditangannya, maka janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya dari bejana tersebut”.
Kelima : Hadits “Siapa yang berbuka satu hari dalam ramadhan tanpa udzur maka dia tidak mampu menggantinya walaupun berpuasa sepanjang masa”.

Bagaimana sebenarnya kedudukan hadits tersebut, apakah shohih atau tidak. Jazakallahu khairan.

Menyikapi orang yang melihat Hilal sendirian

Penulis: Redaksi Mahad As Salafy

Asy-Syaikh Al-Albani menukilkan keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (25/114) :

”Apabila seseorang melihat hilal Ramadhan atau Syawal apakah menjalankan ash-shaum atau berhari raya dengan ru’yahnya sendiri? Atau menjalankannya bersama kaum muslimin?”

Dalam masalah ini ada tiga pendapat semuanya diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad kemudian beliau menyebutkan pendapat tersebut satu-persatu dalam kitabnya dan yang perlu untuk kita sampaikan di sini adalah pendapat yang sesuai dengan hadits yaitu :

Pendapat ketiga : bershaum dan berhari raya bersama kaum muslimin adalah pendapat yang paling kuat berdasarkan hadits dari Abi Hurairah, bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata :

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَ أَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ (رواه الترمذي و قال حسن غريب)

Artinya :

“Shaumnya kalian adalah pada hari dimana kaum muslimin bershaum, Idul Fitri kalian adalah pada hari kaum muslimin beridul fitri, dan Idul Adha kalian adalah pada hari kaum muslimin beridul Adha.”([1])

Pendapat Para Ulama Tentang Perbedaan Lokasi Terbitnya Bulan

Penulis: Redaksi Mahad As Salafy

Telah dijelaskan oleh banyak para ‘ulama bahwa terjadinya perbedaan mathla’ antar berbagai negeri di belahan bumi ini adalah sesuatu yang dapat dimaklumi. Namun para ‘ulama tersebut berselisih pendapat ketika al-hilal terlihat di suatu negeri :

- Apakah ru’yah tersebut berlaku bagi seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia, dengan kata lain : adanya perbedaan mathla’ tidak berpengaruh terhadapnya.

- Ataukah masing-masing negeri berdasarkan ru’yah mereka sendiri, dengan kata lain : adanya perbedaan mathla’ berpengaruh terhadap penentuan ru’yah bagi masing-masing negeri.

Pengertian Mathla’

Sebelum kita menyebutkan penjelasan para ‘ulama tentang perbedaan mathla’, kita sebutkan terlebih dahulu tentang makna kata “mathla’”

Mathla’ (مَطْلَعٌ ) dengan harakat fathah pada huruf al-lam, bermakna : waktu atau zaman munculnya bulan, bintang, atau matahari. Contoh penggunaan kata ini adalah seperti dalam surat Al-Qadar :

سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ القدر: ٥

“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” [Al-Qadar : 5]

Penentuan Awal Hijriyah Bersama Pemerintah

Penulis: Al Ustadz Qomar ZA

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa satu-satunya cara yang dibenarkan syariat untuk menentukan awal bulan adalah dengan ru’yah inderawi, yaitu melihat hilal dengan menggunakan mata.

Lalu bagaimana dengan adanya perbedaan jarak antara tempat yang satu dengan lainnya, yang berakibat adanya perbedaan tempat dan waktu munculnya hilal? Inilah yang kita kenal dengan ikhtilaf mathali’. Apakah masing-masing daerah berpegang dengan mathla’-nya (waktu munculnya) sendiri ataukah jika terlihat hilal di satu daerah maka semuanya harus mengikuti ?

Disini terjadi perbedaan pendapat. Dua pendapat telah disebutkan dalam pertanyaan di atas dan pendapat ketiga bahwa yang wajib mengikuti ru’yah tersebut adalah daerah yang satu mathla’ dengannya.

Dari ketiga pendapat itu, nampaknya yang paling kuat adalah yang mengatakan bahwa jika hilal di satu daerah terlihat maka seluruh dunia harus mengikutinya. Perbedaan mathla’ adalah sesuatu yang jelas ada dan tidak bisa dipungkiri. Namun yang menjadi masalah, apakah perbedaan tersebut berpengaruh dalam hukum atau tidak? Dan menurut madzhab yang kuat perbedaan tersebut tidak dianggap.

Meneropong Keabsahan Ilmu Hisab

Penulis: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc

Mendekati bulan Ramadhan tentu kita ingat bagaimana perasaan kita yang demikian gembira karena memasuki bulan yang penuh limpahan pahala yang Allah Ta'ala siapkan untuk orang-orang bertakwa. Namun di antara rasa gembira itu, terselip kegelisahan ketika melihat kaum muslimin berbeda-beda dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Hilang kebersamaan mereka dalam menyambut bulan mulia itu. Sungguh hati ini sangat sedih. Semoga Allah k segera mengembalikan persatuan kaum muslimin kepada ajaran yang benar dan kebersamaan yang indah.

Hilangnya kebersamaan itu disebabkan oleh banyak faktor yang mestinya kaum muslimin segera menghilangkannya. Satu hal yang tak luput dari pengetahuan kita adalah pemberlakuan hisab atau ilmu falak dalam menentukan awal bulan hijriyyah di negeri ini baik oleh individu ataupun organisasi. Perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang sangat lazim, bahkan seolah menjadi ganjil jika kita tidak memakainya dan hanya mencukupkan dengan cara yang sederhana yaitu ru’yah (melihat hilal).

Demikianlah tashawwur (anggapan) yang terbentuk dalam benak sekian banyak kaum muslimin. Hal inilah yang kemudian menyebabkan adanya perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan, termasuk sesama mereka yang memakai hisab, terlebih dengan ilmu yang lain. Perlu diingat bahwa agama ini telah sempurna dalam segala ajarannya sebagaimana Allah k nyatakan:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْناً

“Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha buat kalian Islam sebagai agama kalian.” (Al-Maidah: 3)

Menggunakan metode Hisab dalam penentuan Ramadhan

Penulis: Redaksi Ma'had As Salafy

Dari penjelasan yang telah lalu, kita mengetahui adanya tiga cara dalam menentukan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, yaitu :

1. Ru’yatul Hilal (melihat hilal),

2. Menyempurnakan hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari,

3. Asy-Syahadah (persaksian) orang yang telah berhasil melihat al-hilal atau pemberitaan/pengumuman bahwa al- hilal telah berhasil dilihat.

Sedangkan ilmu hisab falaki tidak boleh dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran untuk menentukan masuk atau keluarnya bulan Ramadhan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan :

“Tidak diragukan lagi berdasarkan As-Sunnah (hadits-hadits) yang sah serta kesepakatan para shahabat bahwasanya tidak boleh menyandarkan (masuk dan keluarnya bulan Ramadhan) kepada hisab perbintangan, sebagaimana hadits yang telah sah dari beliau (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) yang diriwayatkan dalam Ash-Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim) beliau berkata :

‏(( ‏إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ‏ )‏‏)

“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, kami tidak dapat menulis dan tidak pula menghisab. Maka bershaum-lah kalian berdasarkan ru’yah (Al-Hilal), dan berbukalah (memasukui ‘Idul Fithri) berdasarkan ru’yah (Al-Hilal).”

Ketika Ru’yatul Hilal Terhalangi oleh Mendung

Penulis: Redaksi Ma'had As Salafy

Telah diketahui bahwa jika hilal terhalangi oleh awan, kabut atau semisalnya setelah tenggelamnya matahari pada tanggal 29 dari bulan Sya’ban, maka digenapkanlah bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. Dan pendapat yang paling benar adalah tidak bolehnya shiyam/puasa pada keesokan harinya.

Karena secara hukum asal dan yang yakin (pasti) adalah masih berlangsungnya bulan Sya’ban, sedangkan keluar dari bulan Sya’ban adalah perkara yang masih diragukan. Sementara kita tidak boleh meninggalkan sesuatu yang yakin kecuali dengan keyakinan yang semisalnya. Adapun sesuatu yang masih bersifat ragu (kemungkinan), tidak boleh didahulukan atas sesuatu yang bersifat yakin (pasti). ([1])

Pendapat ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :

…. وَلاَ تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ حَتَّى تَرَوهُ ثُمَّ صُومُوا حَتىَّ تَرَوهُ فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غُمَامَةٌ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ ثُمَّ أَفْطِرُوا، وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَ عِشْرُونَ [رواه أبو داود و الترمذي والنسائي، قال الألباني : صحيح]

Artinya:

“… Jangan kalian mendahului (Shaum) Ramadhan sampai kalian melihat hilal kemudian bershaumlah sampai kalian melihat hilal (Syawwal- pen). Bila terhalangi oleh mendung maka sempurnakanlah bilangannya menjadi 30 hari kemudian berhari raya lah. Dan sebulan itu adalah 29 hari.” [HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Al-Albani berkata : hadits ini Shahih] ([2])

Memulai Shaum Ramadhan Berdasarkan Ru’yatul Hilal

Penulis: Redaksi Ma'had As Salafy

Sudah seharusnya bagi kaum muslimin untuk membiasakan diri menghitung bulan Sya’ban dalam rangka mempersiapkan masuknya bulan Ramadhan, karena hitungan hari dalam sebulan dari bulan-bulan hijriyyah 29 hari atau 30 hari.

Hal ini sesuai dengan hadits-hadits yang shahih, diantaranya :

1. Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha :

كَانَ رَسُولُ اللهِ r يَتَحَفَّظُ مِنْ هِلاَلِ شَعْبَانَ مَا لاَ يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ. (رواه أبو داوود وصححه الألباني في صحيح سنن أبي داود)

Artinya :

“Bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersungguh-sungguh menghitung bulan Sya’ban dalam rangka persiapan Shaum Ramadhan ([1]) melebihi kesungguhannya dari selain Sya’ban. Kemudian beliau shaum setelah melihat hilal Ramadhan. Jika hilal Ramadhan terhalangi oleh mendung maka beliau menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi 30 hari kemudiaan shaum.” ([2])

Jalan Golongan Yang Selamat : 34

PERINGATAN MAULID NABI
Penulis : Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Dalam peringatan maulid yang diselenggarakan, sering terjadi kemungkaran, bid'ah dan pelanggaran terhadap syari'at Islam.

Peringatan maulid tidak pernah diselenggarakan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam, juga tidak oleh para sahabat, tabi'in dan imam yang empat, serta orang-orang yang hidup di abad-abad kekayaan Islam. Lebih dari itu, tak ada dalil syar'i yang menyerukan penyelenggaraan maulid Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam tersebut.

Untuk lebih mengetahui hakikat maulid, marilah kita ikuti uraian berikut:

1. Kebanyakan orang-orang yang menyelenggarakan peringatan maulid, terjerumus pada perbuatan syirik. Yakni ketika mereka me-nyenandungkan:

"Wahai Rasulullah, berilah kami pertolongan dan bantuan.
Wahai Rasulullah, engkaulah sandaran (kami).
Wahai Rasulullah, hilangkanlah derita kami.
Tiadalah derita (itu) melihatmu, kecuali ia akan melarikan diri."

Seandainya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam mendengar senandung tersebut, tentu beliau akan menghukuminya dengan syirik besar. Sebab pemberian pertolongan, tempat sandaran dan pembebasan dari segala derita adalah hanya Allah semata. Allah berfirman,

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ
"Atau siapakah yang memperkenankan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo'a kepadaNya, dan yang menghilang-kan kesusahan ... ?" (An-Naml: 62)

Jalan Golongan Yang Selamat : 33

SEBAB TERJADINYA MUSIBAH
DAN CARA PENANGGULANGANNYA
Penulis : Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Al-Qur'anul Karim telah menyebutkan beberapa sebab terjadinya musibah, berikut bagaimana Allah menghilangkan musibah tersebut dari para hambaNya. Di antaranya adalah firman Allah,

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
"Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerah-kanNya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada ada diri mereka sendiri." (Al-Anfaal: 53)

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
"Dan apa saia musibah yang menimpa kamu maka adalah dise-babkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (Asy-Syuuraa: 30)

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali jalan yang benar)." (Ar-Ruum: 41)

Jumat, 23 Juli 2010

Penentuan Hilal awal bulan Ramadhan dan Syawal

Penulis: Al Ustadz Zuhair Syarif

1. Cara menentukan Ibadah Puasa dan Iedul Fithri

Awal puasa ditentukan dengan tiga perkara :
1. Ru’yah hilal (melihat bulan sabit).
2. Persaksian atau kabar tentang ru’yah hilal.
3. Menyempurnakan bilangan hari bulan Sya’ban.

Tiga hal ini diambil dari hadits-hadits dibawah ini :
1. Hadits dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.” (HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081)

2. Hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.” (HR. Abu Dawud 2327, An-Nasa’I 1/302, At-Tirmidzi 1/133, Al-Hakim 1/425, dan di Shahih kan sanadnya oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)

Puasa Tidak Sekedar Menahan Makan dan Minum

Penulis: Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc.

Puasa merupakan ibadah yang sangat dicintai Allah ta'ala. Hal ini sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ. قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلاَّ الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي

“Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan pahalanya, satu kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Allah ta’ala berkata: ‘Kecuali puasa, maka Aku yang akan membalas orang yang menjalankannya karena dia telah meninggalkan keinginan-keinginan hawa nafsunya dan makannya karena Aku’.” (Shahih, HR. Muslim)

Hadits di atas dengan jelas menunjukkan betapa tingginya nilai puasa. Allah ta’ala akan melipatgandakan pahalanya bukan sekedar 10 atau 700 kali lipat namun akan dibalas sesuai dengan keinginan-Nya Ta'ala. Padahal kita tahu bahwa Allah ta’ala Maha Pemurah, maka Dia tentu akan membalas pahala orang yang berpuasa dengan berlipat ganda.

Hukum Ringkas Puasa Ramadhan

Penulis: Al-Ustadz Abu Abdirrahman Al-Bugisi

Menyambut Ramadhan, banyak acara digelar kaum muslimin. Diantara acara tersebut ada yang telah menjadi tradisi yang “wajib” dilakukan meski syariat tidak pernah memerintahkan untuk membuat berbagai acara tertentu menyambut datangnya bulan mulia tersebut.
Puasa Ramadhan merupakan salah satu dari kewajiban puasa yang ditetapkan syariat yang ditujukan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah.

Hukum puasa sendiri terbagi menjadi dua, yaitu puasa wajib dan puasa sunnah. Adapun puasa wajib terbagi menjadi 3: puasa Ramadhan, puasa kaffarah (puasa tebusan), dan puasa nadzar.

Keutamaan Bulan Ramadhan
Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al Qur’an. Allah Ta'ala berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

“Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil).” (Al-Baqarah: 185)

Definisi & Sejarah Turunnya Syariat Shaum Ramadhan

Penulis: Redaksi Ma'had As Salafy

1. Ta’rif (Definisi) Ash-Shaum

Secara Etimologi / Lughawi
Secara lughowi (bahasa) Ash-Shaum (الصَّوْمُ) bermakna (الإِمْسَاكُ) yang artinya menahan. Atas dasar itu berkata Al-Imam Abu ‘Ubaid dalam kitabnya Gharibul Hadits :
كُلُّ مُمْسِكٍ عَنْ كَلاَمٍ أَوْ طَعَامٍ أَوْ سَيْرٍ فَهُوَ صَائِمٌ
“Semua orang yang menahan diri dari berbicara atau makan, atau berjalan maka dia dinamakan Sha`im (orang yang sedang bershaum).” [1])

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta'ala :
) إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا ( مريم: ٢٦
“Sesungguhnya aku telah bernadzar shaum untuk Ar-Rahman, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini” [Maryam : 26]

Shahabat Anas bin Malik dan Ibnu ‘Abbas radiyallahu 'anhuma berkata : صَوْمًا maknanya adalah صَمْتًا yaitu menahan diri dari berbicara. [2])

Risalah menyambut bulan suci Ramadhan

Penulis: Redaksi Buletin al Ilmu

Dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan, kami sajikan kepada saudara-saudaraku risalah ini dengan mengharap kepada Allah agar menjadikan amalan-amalan kita semua ikhlas karena-Nya. Dan sesuai apa yang dibawa nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, maka kami katakan dengan mengharap pertolongan Allah shalallahu ‘alaihi wasallam:

1. Tidak ada keraguan lagi bahwasannya diantara nikmat Allah subhanahu wata’ala yang dianugerahkan kepada hamba-Nya adalah bulan Ramadhan yang mulia ini. Allah subhanahu wata’ala menjadikan bulan ini sebagai bulan terkumpulnya segala kebaikan dan kesempatan untuk melaksanakan amalan-amalan shalih. Dan Allah subhanahu wata’ala mencurahkan nikmat kepada hamba-Nya pada bulan ini dengan nikmat-nikmat yang telah lalu, dan nikmat yang terus-menerus.

Pada bulan ini Allah subhanahu wata’ala menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia dan penjelas dari Al-Huda dan Al-Furqan. Padanya terjadi perang Badar kubra, dimana Allah subhanahu wata’ala memuliakan Islam dan kaum muslimin serta menghinakan kesyirikan dan para pelakunya, sehingga hari tersebut dinamakan dengan Yaumul Furqon (Hari Pembeda antara yang benar dan yang batil). Padanya pula terjadi Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah) yang dengannya Allah mensucikan Baitul Haram dari berhala-berhala, dan umat manusia pun berbondong-bondong masuk ke dalam agama Islam.

Jalan Golongan Yang Selamat : 32

CABANG-CABANG IMAN
Penulis : Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda,

الإيمان بضع وستون شعبة فأفضلها قول لاإله ألا الله، وأدناها إماطة الأذي عن الطريق
"Iman itu lebih dari enam puluh cabang. Cabang yang paling utama adalah ucapan, 'Laa ilaaha illallah' dan cabang yang paling rendah yaitu menyingkirkan kotoran dari jalan". (HR. Muslim)

Al-Hafizh Ibnu Hajar telah meringkas hal tersebut dalam kitab-nya Fathul Baari, sesuai keterangan Ibnu Hibban, beliau berkata, "Cabang-cabang ini terbagi dalam amalan hati, lisan dan badan".

1. Amalan Hati:

Adapun amalan hati adalah berupa i'tikad dan niat. Dan ia terdiri dari dua puluh empat sifat (cabang); iman kepada Allah, termasuk di dalamnya iman kepada Dzat dan Sifat-sifatNya serta pengesaan bahwasanya Allah adalah:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat". (As-Syuraa: 11)

Serta ber'itikad bahwa selainNya adalah baru, makluk. Beriman kepada Allah, beriman kepada malaikat-malaikat, kitab-kitab dan para rasulNya. Beriman kepada qadar (ketentuan) Allah, yang baik mau-pun yang buruk.

Beriman kepada hari Akhirat: Termasuk di dalamnya pertanyaan di dalam kubur, kenikmatan dan adzabNya, kebangkitan dan pengum-pulan di Padang Mahsyar, hisab (perhitungan amal), mizan (tim-bangan amal), shirath (titian di atas Neraka), Surga dan Neraka.

Daurah Sidrap - Sya'ban 1431 H

JADWAL DAURAH BULANAN DI KAB. SIDRAP, SUL-SEL.

Berikut Jadwal Kegiatan DAURAH SALAFIYAH Yang Insya Allah akan dilaksanakan setiap bulan di Kab. Sidrap pada pekan ke-4 (Sabtu – Ahad) yang akan dibawakan oleh :

AL-USTADZ ABU ‘ABDILLAH KHIDIR BIN MUHAMMAD SANUSI hafidzahullah
(Murid Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah / Pengasuh Pondok Pesantren As-Sunnah, Makkassar)

Jadwal Untuk Bulan ini : Sya'ban 1431 H. / Juli 2010 M.

A. Sabtu, 12 Sya'ban 1431 H. / 24 Juli 2010 M.

KAJIAN KITAB RIYADHUS SHALIHIN
(Taman Orang-orang Shalih)
Karya : Imam An-Nawawi rahimahullah
Pukul : 18.40 – 19.20 WITA (Maghrib – Isya’)

Tempat : MASJID AS-SUNNAH, Desa Teppo, Massepe, Kec. Tellu LimpoE, Kab. Sidrap (Terbuka untuk Umum : Ikhwan dan Akhwat)

B. Ahad, 13 Sya'ban 1431 H. / 25 Juli 2010 M.

1. KAJIAN TAFSIR AL-FATIHAH
Pukul : 05.00 - 06.00 WITA (Ba'da Subuh)

Tempat : MASJID AGUNG Pangkajene Sidrap. Jl. Poros Pare
(Terbuka untuk Umum : Ikhwan dan Akhwat)

2. KAJIAN KITAB SYARH MASA’ILUL JAHILIYAH
(Penjelasan tentang perkara-perkara jahiliyah)
Karya : Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah
Syarah : Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzhahullah
Pukul : 09.30 – 11.00 WITA

3. KAJIAN KITAB SHAHIH SIRAH NABAWIYAH
(Sejarah Perjalanan Hidup Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam)
Karya : Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah
Tahqiq : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany rahimahullah
Pukul : 11.00 – Dzhuhur

4. TAUSIYAH / CERAMAH UMUM / TANYA JAWAB
Pukul : 12.35 – 13.00 WITA

Tempat : MASJID AS-SUNNAH, Dusun II Labempa, Desa KaniE, Kec. MaritengngaE Kab. Sidrap (Terbuka untuk Umum : Ikhwan dan Akhwat)

5. TAUSIYAH / CERAMAH UMUM
Pukul : 15.45 – 17.30 WITA (Ba'da Ashar)

Tempat : Rumah Abu Ammar Anugrah.
Jl. A. Pakkanna
No. 1 Rappang

Daurah Hari ke-2 di Masjid As-Sunnah, Kanie merupakan DAURAH GABUNGAN yang biasa diikuti oleh :

1. Ikhwah Kab. Sidrap selaku tuan rumah.
2. Ikhwah Kota Pare-pare.
3. Ikhwah Kab. Pinrang.
4. Ikhwah Kab. Bone.
5. Ikhwah Kab. Wajo.
6. Ikhwah Kab. Soppeng.
7. Ikhwah Kab. Enrekang.
8. Ikhwah Kab. Polman, Sul-Bar.

Informasi Silakan hubungi :
• Al-Akh Abu Mujahid, (Masjid As-Sunnah, Massepe) 081 342 289 079.
• Al-Akh Abu Yahya, (Masjid As-Sunnah, KaniE) 085 255 600 618.
• Al-Akh Abdul Majid Said, 081 355 132 485.

Rabu, 07 Juli 2010

Kajian Rutin Ahlussunnah di Kab. Mamuju, Sulbar

Kajian Rutin Salafy di Kab. Mamuju, Sulawesi Barat, Insya Allah akan dilaksanakan rutin tiap pekan dengan Pemateri dan Jadwal sebagai berikut :

Pemateri : Al-Ustadz Abu Aliah Salman bin Mahmud Hafidzahullah

1. AHAD
Materi : Kajian Kitab Al-Qaulul Mufid (Umum)
Waktu : Pukul 10.00 WITA Sampai selesai
Tempat : Masjid SMPN 2 Mamuju

2. SENIN
Materi : Kajian Tajwid dan Ushul Tsalatsah (Umum)
Waktu : Pukul 14.00 – 17.00 WITA
Tempat : Masjid Darul Falah, Kalukku.

3. MALAM RABU
Materi : Kajian Kitab Riyadhus Shalihin (Ikhwah)
Waktu : 19.30 WITA Sampai selesai (Ba’da Isya)
Tempat : Masjid Ar-Rahim, Mamuju

4. MALAM KAMIS
Materi : Kajian Kitabut Tauhid (Ikhwah)
Waktu : 19.30 WITA Sampai selesai (Ba’da Isya)
Tempat : Masjid SMPN 2 Mamuju

5. MALAM JUM’AT
Materi : Kajian Fiqhi (Ikhwah)
Waktu : 19.30 WITA Sampai selesai (Ba’da Isya)
Tempat : Masjid SMPN 2 Mamuju

Informasi :
Al-Akh Shobri, +6285 255 312 121

Kamis, 01 Juli 2010

Jalan Golongan Yang Selamat : 31

KEKASIH ALLAH DAN KEKASIH SETAN
Penulis : Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Allah berfirman,

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ، الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa." (Yunus: 62-63)

Ayat di atas mengandung pengertian bahwa wali adalah orang mukmin yang bertaqwa dan menjauhi maksiat. Ia berdo'a hanya kepada Allah semata dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Terkadang tampak padanya karamah ketika sedang dibutuhkan. Seperti karamah Maryam ketika ia mendapatkan rizki berupa makanan di rumahnya.

Maka, wilayah (kewalian) memang ada. Tetapi ia tidak terjadi kecuali pada hamba yang mukmin, ta'at dan mengesakan Allah. Karamah tidak menjadi syarat untuk seseorang disebut wali, sebab syarat demikian tidak diberitahukan oleh Al-Qur'an.

Wilayah itu tidak mungkin terjadi pada seorang fasik atau musy-rik yang berdo'a dan memohon kepada selain Allah. Sebab hal itu termasuk amalan orang-orang musyrik, sehingga bagaimana mungkin mereka menjadi para wali yang dimuliakan...?

Wilayah tidak bisa diperoleh melalui warisan dari nenek moyang atau keturunan, tetapi ia didapatkan dengan iman dan amal shalihnya.

Apa yang tampak pada sebagian ahli bid'ah seperti memukul-mukulkan besi ke perut, memakan api dan sebagainya dengan tidak menimbulkan cedera apapun, maka itu adalah dari perbuatan setan. Hal yang demikian bukan karamah tetapi istidraaj agar mereka sema-kin jauh tenggelam dalam kesesatan.