Penulis : Redaksi Buletin Jum’at Al-Atsariyyah
Pembaca yang budiman, memasuki bulan Rabi’ul Awal, apabila kita berjalan di pasar-pasar, maka kita akan melihat banyaknya telur yang dijual melebihi hari-hari pasar biasa. Tentunya kita sudah bisa menebak bahwa sebagian kaum muslimin akan merayakan maulid di bulan tersebut. Lalu bagaimana tinjauan syariat tentang hal tersebut? Apa defenisi maulid? Bagaimana sejarah munculnya maulid? Apa fatwa para ulama tentang perayaan maulid? Untuk mengetahui jawabannya, berikut kami akan uraikan secara singkat.
Maulid secara bahasa berarti tempat atau waktu dilahirkannya seseorang. Karenanya, tempat maulid Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah Mekkah. Sedangkan waktu maulid beliau adalah pada hari Senin bulan Rabi’ul Awwal pada tahun Gajah tahun 53 SH (Sebelum Hijriah) yang bertepatan dengan bulan April tahun 571 M.
Adapun tanggal kelahiran beliau, maka para ulama berselisih dalam penentuannya. Cukuplah ini menjadi tanda dan bukti nyata yang menunjukkan bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, para sahabat beliau, dan para ulama setelah mereka, tidaklah menaruh perhatian besar dalam masalah hari maulid (kelahiran) Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Karena seandainya hari maulid beliau adalah perkara yang penting, memiliki keutamaan yang besar dan memiliki arti yang mendalam dalam Islam, maka pasti akan ditegaskan oleh Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits-hadits beliau, sebagai konsekwensi kesempurnaan Islam dan semangat beliau dalam menunjukkan kebaikan kepada ummatnya. Juga pasti akan dinukil dari para sahabat tentang tanggal kelahiran beliau sebagai konsekwensi sikap amanah mereka dalam menyampaikan ilmu.
Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz At-Tuwaijiry -hafizhahullah- berkata, “Yang pertama kali memunculkan bid’ah ini (perayaan maulid) adalah Bani ‘Ubaid Al-Qoddah yang menamakan diri dengan Al-Fathimiyyun dan menyandarkan nasab mereka kepada keturunan Ali bin Abi Tholib -radhiyallahu ‘anhu- . Padahal sebenarnya, mereka adalah pendiri dakwah bathiniyah. Nenek moyang mereka Ibnu Daishan yang dikenal dengan nama Al-Qoddah, seorang budak milik Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq dan salah seorang pendiri mazhab bathiniyah di Irak. Kemudian dia pergi ke negeri Maghrib (Maroko) mengaku sebagai keturunan ‘Aqil bin Abi Thalib. Tatkala kaum ekstrim Syi’ah-Rafidhah bergabung ke mazhabnya, diapun mengaku sebagai anak Muhammad bin Isma’il bin Ja’far Ash-Shadiq dan mereka menerima hal tersebut. Padahal Muhammad bin Isma’il meninggal dalam keadaan tidak memiliki keturunan. Waktu terus berjalan hingga muncul dari kalangan mereka seseorang yang dikenal bernama Sa’id bin Al-Husain bin Ahmad bin Abdillah bin Maimun bin Dishan Al-Qoddah, yang kemudian mengubah nama dan nasabnya. Dia berkata kepada pengikutnya, “Saya adalah ‘Ubaidullah bin Al-Hasan bin Muhammad bin Isma’il bin Ja’far Ash-Shadiq”. Sehingga meluaslah fitnah (malapetaka)nya di Maghrib”. [Lihat Al-Bida’ Al-Hauliyyah (hal. 137-139)]
Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (11/127) berkata, “Sesungguhnya pemerintahan Al-Fathimiyyun Al-Ubaidiyyun yang bernisbah kepada Ubaidillah bin Maimun Al-Qoddah, seorang Yahudi yang memerintah di Mesir dari tahun 357 – 567 H, mereka memunculkan banyak hari-hari raya. Di antaranya perayaan maulid Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-”.
Kemudian, bid’ah perayaan hari lahir (ulang tahun) secara umum serta perayaan hari lahir Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- (maulid) secara khusus, tidak muncul, kecuali pada zaman Al-Ubaidiyyun pada tahun 362 H. Tidak ada seorang pun yang mendahului mereka dalam merayakan maulid ini. Kemudian, mereka diikuti oleh Al-Muzhaffar Abu Sa’id pada abad ke tujuh sebagaimana yang akan dijelaskan oleh Asy-Syaukaniy -rahimahullah- .
Perayaan maulid merupakan perkara baru dalam agama, lantarannya para ulama dari zaman ke zaman menampakkan pengingkaran terhadap acara tersebut. Diantara ulama yang mengingkari perayaan maulid (namun ini bukan pembatasan):
Syaikhul Islam Ahmad bin ‘Abdil Halim Al-Harraniy-rahimahullah- berkata dalamAl-Iqhtidho` (hal. 295) saat menjelaskan bid’ahnya maulid, “Karena sesungguhnya hal ini (yaitu perayaan maulid) tidak pernah dikerjakan oleh para ulama salaf, padahal ada faktor-faktor yang mendukung dan tidak adanya faktor-faktor yang bisa menghalangi pelaksanaannya. Seandainya amalan ini adalah kebaikan semata-mata atau kebaikannya lebih besar (daripada kejelekannya), maka tentunya para salaf -radhiyallahu ‘anhum- lebih berhak untuk mengerjakannya daripada kita, karena mereka adalah orang yang sangat mencintai dan mengagungkan Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dibandingkan kita, dan mereka juga lebih bersemangat dalam masalah kebaikan daripada kita. Sesungguhnya kesempurnaan mencintai dan mengagungkan beliau hanyalah dengan cara mengikuti dan mentaati beliau, mengikuti perintahnya, menghidupkan sunnahnya secara batin dan zhahir, dan menyebarkan wahyu yang beliau diutus dengannya serta berjihad di dalamnya dengan hati, tangan, dan lisan. Inilah jalan orang-orang yang terdahulu lagi pertama dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”.
Al-Imam Tajuddin Abu Hafsh ‘Umar bin ‘Ali Al-Lakhmy Al-Fakihaniy -rahimahullah- berkata dalam Al-Mawrid fii ‘Amalil Maulid, “Saya tidak mengetahui bagi perayaan maulid ini ada asalnya (baca: landasannya) dari Al-Kitab, tidak pula dari Sunnah; tidak pernah dinukil pengamalannya dari seorang pun di kalangan para ulama ummat ini yang merupakan panutan dalam agama, yang berpegang teguh dengan jejak-jejak para ulama terdahulu. Bahkan ini adalah bid’ah yang dimunculkan oleh orang-orang yang tidak punya pekerjaan (baca : kurang kerjaan) yang dikuasai oleh syahwat jiwanya. Bid’ah ini hanya disenangi oleh orang-orang yang suka makan!!”.
Al-Imam Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukany -rahimahullah- berkata, “Saya tidak menemukan satupun dalil yang membolehkannya. Orang yang pertama kali mengada-adakannya adalah Raja Al-Muzhaffar Abu Sa’id pada abad ke tujuh. Kaum muslimin telah bersepakat bahwa itu adalah bid’ah”. [Lihat Al-Mawrid fii Hukmil Ihtifal bil Maulid karya ‘Aqil bin Muhammad bin Zaid Al-Yamany (hal. 37)]
Muhammad bin Muhammad Ibnul Hajj Al-Malikiy -rahimahullah- berkata dalam Al-Madkhal (2/2), “Termasuk perkara yang mereka munculkan berupa bid’ah -bersamaan dengan keyakinan mereka bahwa itu termasuk sebesar-besar ibadah dan dalam rangka menampakkan syi’ar-syi’ar (Islam)- adalah apa yang kerjakan dalam bulan Rabi’ul Awwal berupa maulid. Acara ini telah menghimpun sejumlah bid’ah dan perkara-perkara yang diharamkan”.
Seorang ulama Syafi’iyyah dari Mesir, Syaikh ‘Ali Mahfuzh -rahimahullah- berkata dalam Al-Ibda’ fii Madhorril Ibtida’ (hal. 272) tatkala beliau menyebutkan beberapa contoh hari raya yang disandarkan kepada syari’at, padahal dia bukan termasuk darinya, beliau berkata, “Di antaranya adalah malam ke 12 Rabi’ul Awwal, manusia berkumpul di masjid-masjid dan selainnya untuk merayakannya (bid’ah maulid). Sehingga mereka melanggar kehormatan rumah-rumah Allah -Ta’ala-, mereka berbuat isrof (berlebih-lebihan) di dalamnya, para pembaca meninggikan suara-suara mereka dengan melantunkan qoshidah-qoshidah berupa nyanyian (nasyid dan yang semisalnya) yang membangkitkan syahwat para pemuda untuk berbuat kefasikan dan kefajiran. Maka engkau melihat mereka ketika itu berteriak dengan suara-suara kemungkaran, memunculkan di dalam masjid-masjid goncangan yang mengagetkan. Terkadang mereka sama sekali tidak menyinggung dalam qoshidah-qoshidah mereka, sedikitpun di antara kekhususan-kekhususan Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, akhlak-akhlak beliau yang mulia, dan amalan-amalan beliau yang bermanfaat dan mulia. Di antara mereka ada yang menyibukkan diri dengan dzikir-dzikir yang dibuat-buat. Semua perkara ini adalah perkara yang tidak diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta tidak pernah dilakukan oleh para salafush shalih. Jadi, ini (maulid) adalah bid’ah dan kesesatan”.
Nah, sudah jelas bagi kita tentang bid’ahnya perayaan maulid. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa saja yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami sesuatu yang tidak ada di dalamnya, maka itu tertolak” [HR. Al-Bukhariy dan Muslim]
Beliau juga bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan tersebut tertolak”. [HR. Muslim]
Di dalam agama Islam, hanya ada dua hari raya. Adapun selainnya, maka ia merupakan hari yang harus ditinggalkan, karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan para sahabatnya tidak mengerjakannya. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
لَنَا عِيْدَانِ مَعْشَرَ الْمُسْلِمِيْنَ, عِيْدُ الْأَضْحَى وَعِيْدُ الْفِطْرِ
“Wahai sekalian kaum muslimin, kita hanya memiliki 2 hari raya, yaitu ‘Iedul Adhha dan ‘Iedul Fitri”.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda kepada para sahabat,
قَدَمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا فِيْ الجَاهِلِيَةِ وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمً النَّحَرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“Saya datang kepada kalian, sedang kalian memiliki dua hari, kalian bermain di dalamnya pada masa jahiliyyah. Allah sungguh telah menggantikannya dengan hari yang lebih baik darinya, yaitu: hari Nahr (baca: iedul Adh-ha), dan hari fithr (baca: iedul fatri)”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (1134), An-Nasa`iy dalam Sunan-nya (3/179), Ahmad dalam Al-Musnad (3/103), Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah (1098), dan lainnya. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud (1134)]
Andaikan beliau mengerjakan perayaan maulid atau menyampaikannya, maka wajib hal itu terpelihara, karena Allah -Ta’ala- berfirman,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (QS. Al-Hijr : 9)
Maka tatkala tidak ada sedikitpun keterangan tentang hal tersebut, maka diketahuilah bahwa maulid bukan bagian dari agama Allah. Jika dia bukan bagian dari agama Allah, maka tidak boleh kita beribadah dan bertaqarrub kepada Allah -‘Azza wa Jalla- dengannya.
Perayaan ini, jika dia merupakan bagian dari kesempurnaan agama, maka pasti ada sebelum wafatnya Rasul -‘Alaihish Shalatu was Salam-. Jika dia bukan bagian dari kesempurnaan agama, maka tidak mungkin dia akan menjadi bagian agama, karena Allah -Ta’ala- berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”. (QS. Al-Ma`idah : 3)
Barangsiapa yang menyangka bahwa dia bagian dari kesempurnaan agama, padahal dia muncul setelah Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka ucapannya itu mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia ini. Mereka (para sahabat) tidak pernah mengerjakan satu pun ketaatan, kecuali sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai pengamalan firman Allah -Ta’ala-,
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (QS. Al-Hasyr: 7)
Jadi, tatkala mereka tidak pernah mengerjakan maulid ini, diketahuilah bahwa dia adalah bid’ah. Karena tak mungkin ada kebaikan yang tidak dicontohkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- , dan para sahabatnya.
Beliau bersabda dalam hadits yang shahih,
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعُة وَ كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Setiap perkara baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat”.
Perayaan maulid ini muncul abad keempat Hijriah yang dimunculkan oleh Kekhalifahan Al-Fathimiyyun Asy-Syi’ah dalam rangka mencontoh dan menyerupai orang-orang Nashrani yang mengadakan perayaan maulid bagi Al-Masih ‘Isa bin Maryam -‘alaihish shalatu wassalam-. Hal ini menunjukkan bahwa dia adalah bid’ah. Demikian pula halnya dengan perayaan malam Isra` Mi’raj, semuanya adalah termasuk bid’ah-bid’ah.
Selain itu, terdapat berbagai kemungkaran di dalamnya seperti berbaurnya laki-laki dan perempuan, buang-buang harta, pembacaan syair-syair yang berisi kesyirikan, serta kemungkaran yang lainnya.
Seandainya pun seseorang itu menangis ketika merayakannya, tapi bila tangisannya tersebut di atas selain hidayah, maka tangisannya tidak akan bermanfaat baginya. Terkadang seseorang itu menangis, sedangkan dia di atas kekafiran sehingga tangisannya tidak bermanfaat baginya. Tangisannya tidak menambah sesuatu baginya, kecuali semakin jauh dari Allah -Subhanahu wa Ta‘ala-.
Tidakkah kita membaca firman Allah -Ta‘ala-:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ. عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ. تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً. تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ ءَانِيَةٍ
“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina,bekerja keras lagi kepayahan,memasuki api yang sangat panas (neraka),diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas”. (QS. Al-Ghasyiah: 2-5)
“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina” : tunduk lagi rendah. “bekerja keras”: dia telah beramal, sibuk siang dan malam dengan shalat dan puasa, tetapi tidak di atas ilmu, tidak sesuai dengan syari’at lagi berbuat syirik. “Banyak muka pada hari itu tunduk terhina,bekerja keras lagi kepayahan” : lelah dalam beribadah dan beramal, sekalipun demikian, mereka “memasuki api yang sangat panas (neraka),diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas” yaitu sangat panas, dahsyat panasnya telah sampai pada puncak didih dan dia diberikan minum darinya. Kita memohon keselamatan dan ‘afiat kepada Allah.
Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi Khusus Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan hubungi alamat di atas. (infaq Rp. 200,-/exp)
Sumber : http://almakassari.com/artikel-islam/bidah/bulan-penuh-telur.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar